Rabu, 27 Mei 2015

Mari kita selaku manusia dapat lebih beriman kepada Allah dan beramal Shaleh.

Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Al-hamdu lillah الحمد لله, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada penutup nabi dan Rasul, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Mari kita selaku manusia dapat lebih beriman kepada Allah dan beramal Shaleh. Untuk itu, marilah kita simak firman Allah ta'ala berikut ini yang dapat menuntun kita agar beramal saleh. من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS: An-Nahl: 97
Allah ta'ala mengabarkan dan menjanjikan bagi siapa saja yang menggabungkan antara iman dan amal shaleh dengan kehidupan yang baik di dunia ini serta balasan kebaikan di dunia dan akhirat.
Kita orang ketika dapat lebih beriman kepada Allah ta'ala dengan iman yang benar dan berbuat amal shaleh yang dapat memperbaiki hati, akhlak, dunia dan akhirat, kita dapat memiliki pijakan dan landasan tempat menerima semua apa yang datang kepada kita manusia, baik yang berbentuk kebahagiaan dan kesenangan atau penderitaan dan kesedihan.
Ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita cintai dan kita senangi, kita orang tentu menerimanya dengan rasa syukur serta menggunakannya sesuai fungsinya, dan jika kita menggunakannya atas dasar tersebut maka timbullah perasaan gembira seraya berharap agar kebaikan tersebut tetap ada pada kita dan mengandung berkah serta berharap teraihnya pahala karena kita orang dapat menemukan orang yang mensyukurinya.
Semua itu merupakan hal yang agung yang nilai dan berkahnya melebihi kebaikan itu sendiri sekaligus merupakan buahnya. Kita orang juga mengalami kerugian dan kesulitan sesuai kemampuan yang kita miliki, bilamana perlu kita perkecil semampunya, sabar terhadap apa yang tak mungkin kita hindari.
Kesulitan, kesusahan atau musibah kelak dapat memberikan kita pengalaman dan kekuatan bagaimana menghadapi masalah. Sabar dan berharap pahala atas apa yang kita alami, berdampak sangat besar atas hilangnya kesulitan, berganti dengan fasilitas dan harapan yang baik, keinginan akan karunia Allah dan imbalan-Nya, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah dalam hadits shahihnya berikut ini "Sesungguhnya hal seorang mu'min itu menakjubkan, karena semua hal yang dialaminya adalah baik; jika mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu lebih baik baginya, jika mengalami kesulitan dia bersabar, maka hal itu lebih baik baginya, dan hal seperti itu tidak ada kecuali pada diri seorang mu'min. "(HR. Muslim).
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabat radhiyallahu 'anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Al-ḥamdu lillāh الحمد لله, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada penutup nabi dan Rasul, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Mari kita selaku manusia dapat lebih beriman kepada Allah dan beramal Shaleh.
Untuk itu, marilah kita simak Firman Allah ta’ala berikut ini yang dapat menuntun kita agar beramal saleh.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS:An-Nahl: 97
Allah ta’ala mengabarkan dan menjanjikan bagi siapa saja yang menggabungkan antara iman dan amal shaleh dengan kehidupan yang baik di dunia ini serta balasan kebaikan di dunia dan akhirat.
Kita orang apabila dapat lebih beriman kepada Allah ta’ala dengan iman yang benar dan berbuat amal shaleh yang dapat memperbaiki hati, akhlak, dunia dan akhirat, kita dapat memiliki pijakan dan landasan tempat menerima semua apa yang datang kepada kita manusia, baik yang berbentuk kebahagiaan dan kesenangan atau penderitaan dan kesedihan.
Apabila kita mendapatkan sesuatu yang kita cintai dan kita senangi, kita orang tentu menerimanya dengan rasa syukur serta menggunakannya sesuai fungsinya, dan jika kita menggunakannya atas dasar tersebut maka timbullah perasaan gembira seraya berharap agar kebaikan tersebut tetap ada pada kita dan mengandung berkah serta berharap teraihnya pahala karena kita orang dapat termasuk orang yang mensyukurinya.
Semua itu merupakan perkara yang agung yang nilai dan berkahnya melebihi kebaikan itu sendiri sekaligus merupakan buahnya. Kita orang juga menghadapi keburukan dan kesulitan sesuai kemampuan yang kita miliki, bilamana perlu kita perkecil semampunya, sabar terhadap apa yang tak mungkin kita hindari.
Kesulitan, kesusahan ataupun musibah kelak dapat memberikan kita pengalaman dan kekuatan bagaimana menghadapi masalah. Sabar dan berharap pahala atas apa yang kita alami, berdampak sangat besar atas hilangnya kesulitan, berganti dengan kemudahan dan harapan yang baik, keinginan akan karunia Allah dan ganjaran-Nya, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah dalam hadits shahihnya berikut ini
“Sesungguhnya perkara seorang mu’min itu menakjubkan, karena semua perkara yang dialaminya adalah baik; jika mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu lebih baik baginya, jika mengalami kesulitan dia bersabar, maka hal itu lebih baik baginya, dan hal seperti itu tidak terdapat kecuali pada diri seorang mu’min.” (HR. Muslim).
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Marilah kita kerjakan dan laksanakan semua ajaran Islam yang telah disepakati, terutama amalan yang ‘mahdhah’.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Marilah kita kerjakan dan laksanakan semua ajaran Islam yang telah disepakati, terutama amalan yang ‘mahdhah’.
Marilah kita maklumi dan hormati amalan yang berbeda, yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, terutama bukan perkara yang mahdhah.
•اما بعد فان خير الحديث كتاب الله و خير الهدي هدي محمد وشر المآمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
“Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalahpetunjuk Nabi Muhammad s.a.w., dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru.
Dan setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap perbuatan sesat masuk neraka” (Muslim dan An-Nasa’i).
Yang dimaksud “muhdatsat” adalah Suatu perkara yang tidak tersurat atau tersirat baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah; atau Suatu perkara yang bertentangan atau berlawanan dengan Al-Qur’an maupun As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’.
Sebagian ulama mengartikan bid’ah adalah sesuatu yang muncul baru, tidak ada pada masa Rasulullah SAW, dan tidak termasuk di dalam berbagai kandungan dalil-dalil syara’ dan dasar-dasar umum(al-ushul al-’ammah) (Baca: Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Marram, Juz 2, hal. 79)
Atsar sahabat, al menyatakan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras agar umatnya tidak beramal tanpa tuntunan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sekali umatnya mengikuti ajaran beliau dalam beramal sholeh. Jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan tuntunan dalam suatu ajaran, maka tidak perlu seorang pun mengada-ada dalam membuat suatu amalan. Islam sungguh mudah, cuma sekedar ikuti apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan, itu sudah mencukupi.
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718)
Bid’ah sendiri didefinisikan oleh Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al I’tishom,
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Ibnu Taimiyah)
Amalan yang tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak dilakukan di bulan Sya’ban, pada saat mendekati bulan Ramadhan.
Amalan tersebut seperti, kirim do’a untuk kerabat yang telah meninggal dunia dengan baca yasinan atau tahlilan.
Sebutan kita Ruwahan karena Ruwah (sebutan bulan Sya’ban bagi orang Jawa) berasal dari kata arwah, sehingga apakah benar bulan Sya’ban identik dengan kematian?
Sering di beberapa daerah masih melestarikan yasinan atau tahlilan di bulan Sya’ban.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.
Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat dan do’a.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari 20 dan Muslim 1718)
Tentang malam Nishfu Sya’ban sendiri ada beberapa kritikan
Tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Yang mengatakan seperti itu adalah Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, penulis Tuhfatul Ahwadzi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim 1144).
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim).
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak dikhususkan dengan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada dalil yang mendukungnya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Malam nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam lainnya. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya.
Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban.
Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset 115)
Saat menjelang Ramadhan kita telah biasa yakini sebagai waktu utama untuk ziarah kubur, yaitu mengunjungi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan “nyadran”).
Sesungguhnya, ziarah kubur itu tidak dikhususkan pada bulan Sya’ban saja. Kita diperintahkan melakukan ziarah kubur setiap saat agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim 976).
Apabila seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk ‘nyadran’ atau ‘nyekar’. Ini sungguh merupakan suatu kekeliruan, dikarena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
Nyadran, sebuah legenda acara ziarah kubur menjelang yang tidak dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diharuskan copot sandal atau sepatu sewaktu masuk kuburan, apalagi dengan berbekal makanan minuman sesaji untuk didoa'kan dan dibagi-bagi.
Menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar, padusan, atau keramasan. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Puasa kita akan tetap sah jika tidak lakukan mandi keramas, atau padusan ke tempat pemandian atau mandi di pantai.
Mandi besar itu diwajibkan, apabila kita orang memang ada sebab yang menuntut untuk mandi seperti karena junub maka mesti mandi wajib (mandi junub).
Mandi barengan semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”), ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan (baca: ikhtilath) dalam satu tempat pemandian yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Mari kita lakukan amalan yang seuai dengan Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
Dalam konteks ini, telah diungkapkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dengan perkataannya,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat amalan yang tidak ada tuntunannya. Karena (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Orang yang beramal sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang akan merasakan nikmat telaga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak. Sedangkan orang yang melakukan ajaran tanpa tuntunan, itulah yang akan terhalang dari meminum dari telaga yang penuh kenikmatan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari 7049).
Kita orang patut berhati-hati dengan amalan yang tanpa dasar. Beramallah dengan ilmu dan sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Usul Umar pada masa Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf.
Atas dasar atsar para ulama membagi muhdatsat (bid’ah) ada dua yaitu ‘sayyi’ah’ (sesat) dan ‘hasanah’.
Bid’ah hasanah hukumnya boleh (tidak dilarang), sedangkan bid’ah sayyi’ah (sesat), para ulama sepakat hukumnya haram.
Yang dimaksud dalam hadits Nabi adalah muhdatsat (bid’ah) sayyi’ah atau yang tercela, sehingga kegiatan yang muncul di masyarakat (tradisi) sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah baik yang tersurat maupun tersirat, Atsar, dan Ijma’ adalah boleh.
Riwayat Rasulullah SAW dengan sabda beliau.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbagai kewajiban, janganlah kamu sia-siakan, dan Allah telah menetapkan batasan (berbagai larangan), janganlah kamu melampauinya, dan Allah telah mengharamkan berbagai hal, janganlah kamu melanggarnya. Dan Allah mendiamkan banyak hal,bukan karena lalai melainkan sebagai rahmat bagi engkau semua, tidak usah kamu perbincangkan atau tidak perlu dibahas-bahas (Ad-Daru Qutni, menurut An-Nawawi hadis hasan. Al-Qardhawi, Al-Haram wal Haram fil Islam).
Menurut Al-Qardhawi perkara yang diperbolehkan berdasarkan hadts tersebut bukan hanya terbatas pada sesuatu jenis benda tertentu, tetapi meliputi perbuatan dan kegiatan yang biasa kita sebut dengan adat (tradisi) atau muamalat ( relasi sosial), hal ini pada dasarnya tidak haram.
Kebiasaan atau tradisi yang baru atau lama sepanjang tidak bertentangan baik tersurat maupun tersirat dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’ boleh kita lakukan bahkan akan bernuansa Islami, seperti syawalan, maulid Nabi, isra’ mi’raj, tahlil dan lain sebagainya.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Syafa'at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Hendaknya kita manusia meminta syafa’at hanya kepada Allah SWT.
Karena hanya Allah-lah yang memiliki syafa’at.
Barangsiapa yang meminta syafa’at kepada selain Allah, pada hakekatnya kita telah berdo’a kepada selain Allah. Ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan, meskipun kita meminta kepada Nabi shalallhu ‘alaihi wa sallam.
Syafa'at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain.
Syafaat disebutkan pertama kali dalam Al-Qur'an adalah pada QS.AL-Baqarah ayat 48.
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa´at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. QS: Al-Baqarah: 48.
Dalam ayat tersebut terdapat perintah Allah kepada Bani Israil untuk bertaqwa dengan alasan di akhirat nanti tidak akan ada syafaat (pertolongan) dari siapapun kecuali amal manusia masing-masing.
Syafa’at hakikatnya adalah do’a, atau memerantarai orang lain untuk mendapatkan kebaikan dan menolak keburukan.
Atau dengan kata lain syafa’at adalah memintakan kepada Allah di akhirat untuk kepentingan orang lain.
Dengan demikian meminta syafa’at berarti meminta do’a, sehingga permasalahan syafa’at ialah sama dengan do’a.
Syafa’at hakikatnya adalah do’a, atau memerantarai orang lain untuk mendapatkan kebaikan dan menolak keburukan.
Syafa’at adalah memintakan kepada Allah di akhirat untuk kepentingan orang lain.
Dengan demikian meminta syafa’at berarti meminta do’a, sehingga permasalahan syafa’at ialah sama dengan do’a.
Syafa’at hanya milik Allah dan Nabi tidak bisa memberikan syafa’at tanpa ridho dan izin dari-Nya.
Sehingga, tidak boleh meminta syafa’at kepada makhluk, termasuk kepada Nabi sekalipun.
Meminta syafa’at adalah termasuk doa permintaan.
Seseorang yang meminta syafa’at kepada selain Allah berarti dia telah berdoa kepada selain Allah.
Doa adalah ibadah yang harus ditujukan kepada Allah dan tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya. Barang siapa yang beribadah kepada selain Allah dia telah melakukan syirik akbar. Demikian pula bagi orang yang meminta syafaat kepada selain Allah dia telah berbuat syirik akbar. (Lihat Syarhu al Qowaaidil Arba’, Syaikh Sholeh Alu Syaikh).
Mari kita cermati firman Allah SWT tentang syafa’at berikut ini,
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا ۖ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafa´at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan" QS: Az-Zumar: 44.
Ayat Az-Zumar 44 tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa syafa’at segenap seluruh macamnya itu hanya milik Allah semata.
Allah kemudian memberikan kepada sebagian hamba-Nya untuk memberikan syafa’at kepada sebagian hamba yang lainnya dengan tujuan untuk memuliakan menampakkan kedudukannya pemberi syafa’at dibanding yang disyafa’ati serta memberikan keutamaan dan karunia-Nya kepada yang disyafa’ati untuk bisa mendapatkan kenikmatan yang lebih baik atau kebebasan dari adzab-Nya.
Dikarenakan Allah Maha Mengetahui, untuk itu marilah kita perhatikan firman Allah dalam surat Al Anbiyaa 28 berikut ini.
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَىٰ وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafa´at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. QS: Al-Anbiyaa: 28.
dan firman Allah yang kita cermati berikut dapat kita ketahui bila syafaa’at kita tidak berguna,
وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَىٰ
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa´at mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya). QS: An-Najm: 26.
Dan juga mari kita cermati bersama firman-Nya berikut ini tentang perbuatan syiri’ yang dapat tidak kita sadari,
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ
Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. QS:Saba' : 22.
Orang yang memberi syafa’at dan orang yang diberi syafa’at itupun bukan sembarang orang.
Syafa’at hanya terjadi jika ada izin Allah kepada orang yang memberi syafa’at untuk memberi syafa’at dan ridha Allah kepada pemberi syafa’at dan yang disyafa’ati.
وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ ۚ حَتَّىٰ إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا الْحَقَّ ۖ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Dan tiadalah berguna syafa´at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa´at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar", dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS:Saba': 23.
Lebih baik kita orang tidak terjebak untuk meminta syafa’at langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukan berarti kita mengingkari adanya syafa’at beliau. Tetapi syafa’at hanyalah milik Allah.
Bagaimana Allah hendak memberikan syafa’at-Nya kepada seseorang sementara dia berbuat syiri' dengan meminta syafa’at kepada Nabi?
Syafa’at adalah milik Allah, jika kita meminta kepada Allah hukumnya disyariatkan, yaitu meminta kepada Allah agar para pemberi syafa’at diizinkan untuk mensyafa’ati di akhirat nanti.
“Ya Allah, jadikanlah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pemberi syafa’at bagiku. Dan janganlah engkau haramkan atasku syafa’atnya”.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Jumat, 22 Mei 2015

Bulan Sya’ban adalah bulan yang penuh kebaikan.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bulan Sya’ban adalah bulan yang penuh kebaikan.
Nama Sya'ban diambil dari kata “Sya'bun” artinya adalah ‘kelompok’ atau ‘golongan’.
Dinamakan Sya'ban, karena pada bulan ini, masyarakat jahiliyah berpencar mencari air.
Ada juga yang mengatakan, mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan.
Lisanul 'Arab, kata: شعب
Di bulan Sya'ban sesungguhnya banyak kita orang yang lalai untuk beramal sholeh karena yang sangat kita nantikan adalah bulan Ramadhan.
Telah disabdakan mengenai bulan Sya’ban, oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras agar kita selaku umatnya tidak beramal tanpa tuntunan.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sekali umatnya mengikuti ajaran beliau dalam beramal sholeh.
Jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan tuntunan dalam suatu ajaran, maka tidak perlu seorang pun mengada-ada dalam membuat suatu amalan.
Islam sungguh mudah, cuma sekedar ikuti apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan, itu sudah mencukupi.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari 20 dan Muslim 1718).
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718).
Bid’ah sendiri didefinisikan oleh Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al I’tishom,
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
Mari kita perbanyak amalan yang disunnahkan di bulan Sya’ban dengan -banyak berpuasa. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari 1969 dan Muslim 1156).
Di bulan Sya’ban juga amat dekat dengan bulan Ramadhan, sehingga bagi yang masih memiliki utang puasa, maka ia punya kewajiban untuk segera melunasinya. Jangan sampai ditunda kelewat bulan Dilla Ramadanihan berikutnya.
Sebaiknya, kita orang memperbanyak puasa selama bulan Sya’ban
Kita perbanyak ibadah dan minta ampunan kepada Allah di malam Nishfu Sya’ban.
Tidak ada amalan khusus untuk malam Nishfu Syaban, karena hadis yang menyebutkan hal ini adalah hadis palsu.
Bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan puasa sunah, sebaiknya tidak diperkenankan memulai melakukan puasa sunah setelah masuk tanggal 15 sya’ban.
Dari Ummu Salamah radhiayallahu ‘anha:
لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ
Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut selain di bulan Sya'ban dan Ramadhan. (HR. An Nasa'i, Abu Daud, At Turmudzi)
Usamah bin Zaid, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya'ban. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa'i, Ahmad Dari Abu Musa Al-Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله ليطلع في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya'ban. Maka Dia mengampuni semua makhluqnya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan” (HR. Ibn Majah, At Thabrani)
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya'ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah)
Al-Qurthubi mengatakan,
“Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa hadis larangan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah, sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6/330)
Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: Puasa sunnah apakah yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda: “Sya'ban, dalam rangka mengagungkan Ramadhan.”
Riwayat At-Turmudzi dari jalur Shadaqah bin Musa. Perawi ini disebutkan oleh Dzahabi dalam Ad-Dhu'afa, beliau mengatakan bahwa Para ulama mendhaifkannya.
Dari A'isyah radliallahu 'anha, beliau mengtakan: Suatu malam, saya kehilangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Saya cari keluar, ternyata beliau di Baqi' Beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta'ala turun pada malam pertengahan bulan Sya'ban ke langit dunia. Kemudian Dia mengampuni dosa yang lebih banyak dari pada jumlah bulu kambingnya suku Kalb.” (HR. Ahmad, At Turmudzi, dan didhaifkan Imam Bukhari).
Dari Ali bin Abi Thalib radliallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Jika masuk malam pertengahan bulan Sya'ban maka shalat-lah di siang harinya. Karena Allah turun ke langit dunia ketika matahari terbenam. Dia berfirman: Mana orang yang meminta ampunan, pasti Aku ampuni, siapa yang minta rizki, pasti Aku beri rizki, siapa.... sampai terbit fajar.”
(HR. Ibn Majah. Di dalam sanadnya terdapat Ibn Abi Subrah. Ibn Hajar
mengatakan: Para ulama menuduh beliau sebagai pemalsu hadis).
Penekanan dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat amalan yang tidak ada tuntunannya. Karena (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Orang yang beramal sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang akan merasakan nikmat telaga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak. Sedangkan orang yang melakukan ajaran tanpa tuntunan, itulah yang akan terhalang dari meminum dari telaga yang penuh kenikmatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049). Sehingga kita patut hati-hati dengan amalan yang tanpa dasar. Beramallah dengan ilmu dan sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Ibnu Taimiyah).
Wallahu waliyyut taufiq.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Jumat, 15 Mei 2015

Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda.
Isra’ merupakan kisah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalem.
Sedangkan Mi’raj merupakan kisah perjalanan Nabi dari bumi naik ke langit ketujuh dan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha (akhir penggapaian) untuk menerima perintah di hadirat Allah SWT.
Namun karena dua peristiwa ini terjadi pada waktu yang bersamaan maka disebutlah peristiwa Isra’ Mi’raj.
Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa.
Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari.
Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah shalat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini.
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, kisah yang menakjubkan ini terjadi pada 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.
“Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)
Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`,
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya
Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam
Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS:Al-Israa' : 1
Semoga dapat menambah ilmu dan wawasan kita, serta dapat menambah keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Rabu, 13 Mei 2015

Menjauhkan diri dari ‘Takhalli; menuju ‘Tahalli' ridha serta istiqomah menuju 'Tajalli' yaitu kenyataan yang Allah berikan.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Sebagai manusia mahluk yang lemah mari kita berupaya membersihkan sifat-sifat kita yang tercela.
‘Takhalli’ merupakan cara bagaimana kita dapat membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Sebut saja kita sebagai manusia masih juga suka pamer atau Riya’, masih juga suka Tafahur atau bangga diri, kita suka Khianat atau munafik, kita suka Kidzib atau dusta, kita masih suka hasad atau iri hati, kita masih suka ghibah atau pengumpat, suka Haqad yaitu dengki atau benci, suka Ghadab atau pemarah, kita yang suka Suudzon atau buruk sangka, kita yang suka Hubul Maal atau kebendaan, kita yang suka Kibir yaitu sombong, kita yang masih Bukhul atau kikir, kita yang merasa Ujub merasa sempurna diri.
Seyogyanya kita selalu berpijak pada “benering bener” (kebenaran sejati). Biasakan berdialog dengan nurani kita, dalam hening (tenang) dan hening (mengosongkan fikiran) mari kita simak firman Allah tentang hukum baik buruk, boleh tidak boleh, mulia tidak mulia, terpuji dan tidak terpuji.
Untuk itu mari kita lihat Qur’an Surat An-Nahl : 90 disampaikan sifat-sifat terpuji, yaitu:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. QS: An-Nahl : 90.
‘TAHALLI’ sebaiknya kita orang mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji. Kita sebagai manusia perlu lebih Tawakkal, selalu berTaubat, mencari jalan yang Ridha, bersikap dan bertindak apalagi beribadah dengan Ihlas, selalu berSyukur meskipun diberi cobaan atau sakit, berupaya untuk berSabar pada setiap godaan maupun musibah, bersikap Zuhud, dilingkupi Khauf atau berTaqwa pada Allah sang Pencipta.
Kisah perjuangan dari upaya menghilangkan dan menjauhkan diri dari ‘Takhalli; bagaimana cara kita dapat membersihkan diri dari sifat-sifat tercela menuju ‘Tahalli’ yaitu sebaiknya kita orang mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, secara ridha serta istiqomah guna menuju 'Tajalli' yaitu kenyataan yang Allah berikan.
Mari kita lihat Q.S. An-Nuur (24) : 25 Jalan Menempuh 'Tajalli':
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya). QS: An-Nuur :25.
Bersikap dan berperilaku ‘TAHALLI’ sebaik-baiknya kita menjadi manusia supaya dapat mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji dalam hidup kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. QS:Al-Baqarah : 264.
Filosofi yang sangat mendasar, yang akan membuat hidup kita menjadi kehidupan yang lebih indah, tanpa merendahkan orang lain, kehidupan yang diisi dengan sikap-sikap kesatria, kehidupan yang jauh dari keserakahan, loba, takabur, loba’, tamak, rakus, dan ambisius, Insya Allah.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,