Rabu, 28 Januari 2015

Adigang, Adigung, Adiguna

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kita sebagai manusia, sebaiknya tidaklah mengandalkan dan menyombongkan kelebihan yang kita miliki.
Mengunggul-unggulkan atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, kecantikan, kebagusan, ketampanan, menyombongkan besarnya tubuh atau garis keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.
Adigang: Kekuatan; Adigung: Kekuasaan; Adiguna: Kepandaian.
“Adigang, Adigung, Adiguna”. ngendelake kakuwatane, kaluhurane lan kapinterane.
Dalam bahasa Indonesia, ungkapan tersebut kurang lebih berarti: mengandalkan kekuatan, jabatan, dan kepandaian.
Lebih baik besifat dan berlaku tidak sombong dan angkuh, karena di atas langit masih ada langit dan di bawah tanah masih ada tanah. Laku hidup kita telah dituntun dengan seksama denga firman-Nya dan maha benar firman Allah SWT.
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. QS:17 Al-Israa': 37.
Apabila sifat dan kelakuan kita dapat menjadikan amal saleh yang kita rintis menjadi rusak dikarenakan rasa bangga pada diri sendiri, merasa cukup dengan itu dan bersikap sombong.
Penyakit yang berbahaya yang dapat merembes masuk untuk menjadikan jiwa manusia ternodai ini dapat menghancurkan amal saleh kita. Bahayanya dapat masuk ke ranah syiri’ khafi (samar) kepada Allah SWT.
إِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. QS: Al-Baqarah: 206.
Apa yang kita lakukan sepertinya baik, niatnya baik dan sepertinya amalan secara syariat di Jalan Allah, tapi karena manusia yang masih butuh pengakuan dan tanpa sadar ria’ serta keangkuhan yang dimunculkan, terjadilah tindakannya menjadi congkak, pongah yang tak kelihatan akan tetapi Allah Maha Mengetahui.
لَا جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. QS: An-Nahl 23.
Penggambaran ‘kepongahan’ multidimensi seseorang, pengusaha, penguasa, pemimpin informal maupun formal, termasuk pejabat negara dan pemerintah. Adigang berarti membanggakan kekuatan, adigung: membanggakan kebesaran atau keagungan (termasuk kebesaran harta benda atau kekayaannya) dan adiguna membanggakan kepandaian.
Keangkuhan yang muncul, tanpa kita sadari ternyata dapat menyinggung, menyakiti, membuat orang lain tidak suka karena tersakiti, karena kemiskinannya yang tak tampak, karena orang lain tak mampu secara fisik dan finasial, tak dapat mengimbangi kemampuannya.
Sepertinya kita orang telah dikunci mati hati kita oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu dengan segala kepongahan.
Meskipun demikian, apakah hati kita tanpa mata tak melihat dan mati kaku terkunci oleh nafsu aluamah, mutmainah, sufiah dan fatonah seperti telah difirmankan. QS. Muhammad: 16.
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّىٰ إِذَا خَرَجُوا مِنْ عِنْدِكَ قَالُوا لِلَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka".
Manusia yang berprinsip adigang, adigung, adiguna pada umumnya akan menggunakan segala kelebihan yang dimilikinya untuk mencapai cita-citanya. Terlepas dari sifat baik dan buruk perilaku yang dikerjakan oleh manusia tersebut, prinsip adigang, adigung, dan adiguna mewakili karakter cerdas, pekerja keras, bijaksana, dan pantang menyerah.
Kecongkakan, keangkuhan, kepongahan, kesombongan, apabila kita merasa dan bertindak dengan memperlihatkan diri sangat mulia, pandai, mampu atau kaya padahal belum seberapa dihadapan-Nya.
Keserakahan, ketamakan, nafsu ambisius kita, didorong hawa nafsu sangatlah mudah dipengaruhi oleh syaitan yang menyesatkan.
"dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. QS. Shad 26.
Dalam bahasa Sunda ‘adigung-adiguna’ berarti takabur sekali, sangat sombong. (Kamus Lengkap Sunda-Indonesia, Indonesia-Sunda, Sunda-Sunda, Drs. Budi Rahayu Tamsyah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003).
Meskipun kita telah bekerja dengan lelah dan bersungguh-sungguh untuk melaksanakan amal saleh, kemudian penyakit sombong datang padanya, maka saat itu pula menghancurkan amal salehnya. Kita sudah diperingatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya. “Adapun amal-amal yang membinasakan adalah berprilaku kikir, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri”. (HR Thabrani).
Sunan Pakubuwana IV menuangkan ungkapan kuna tersebut dalam tembang Gambuh dua pupuh (bait) untuk membandingkan ketiga sifat dengan perilaku binatang dan dampaknya,
Wonten pocapanipun,
adiguna adigang adigung,
pan adigang kidang adigung pan esti
adiguna ula iku,
telu pisan mati sampyuh.
Si kidang ambegipun,
ngendelken kebat lumpatipun,
pan si gajah ngendelken geng ainggil
si ula ngendelken iku,
mandine wisa yen nyakot.
Mengacu Serat Wulangreh karya Sri Sunan Pakubuwana IV, pada Pupuh gambuh bait ke 4-10. Pada bait ke 4 di bawah, disebutkan bahwa Sifat Adigang diwakili oleh "Kijang", Adigung oleh Gajah (esthi) dan Adiguna oleh ular.
Adigang bagai kijang (rusa) yang membanggakan lompatannya. Adigung bak gajah yang berhobi pamer tinggi dan besar tubuhnya. Sedang adiguna seperti sifat ular yang bangga atas keampuhan bisanya yang mematikan. Raja Surakarta abad XIX itu mengungkapkan, ketiga sifat itu mengakibatkan kehancuran (sampyuh). Tentunya juga bagi pelakunya.
Bait ke 4 terjemahannya sebagai berikut: Adalah sebuah kisah; Adiguna adigang adigung; Kijang adalah adigang dan gajah adalah adigung; Adiguna adalah ular; Ketiganya mati bersama (sampyuh) Copy and WIN : hhttp://bit.ly/copynwin
Jadi perilaku adigang, adigung, adiguna, merugikan bagi pelaku dan mendatangkan penderitaan bagi yang menjadi objek perilakunya. Paling tidak perilaku ini menjadikan suasana kehidupan orang lain atau masyarakat sekitarnya menjadi kurang nyaman.
Kita sebagai orang lebih baik berlaku tidak sombong dengan mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepandaian. Karena hanya akan “ngunduh wohing panggawe”.
Hal ini dapat dilihat pada bait ke 11 yang terjemahannya kurang lebih: Ketiganya tidak pantas; Kalau ditiru malah jadi salah; Tanda-tandanya orang muda kurang bisa menjaga rahasia (wong anom kurang wewadi); Senang kalau banyak orang memuji-muji (bungah akeh wong anggunggung); akhirnya terjerumus (kajalomprong).
Salahkah seseorang membanggakan kelebihannya? Tentu saja tidak selama tindakannya tidak menyebabkan pihak lain terganggu, dirugikan bahkan menderita, melecehkan hukum dan norma-norma yang berlaku. Apabila si pelaku tidak mau sadar, tanpa memperhatikan situasi dan paradigma yang berlaku kini di sini, tetap memperagakan ketiga sifat itu, bisa saja berurusan dengan hukum.
Untuk itu, memilih calon pimpinan tidaklah diserahkan kepada yang tidak mau, maupun mereka yang ambisi, karena yang berambisi umumnya memiliki motivasi lain, seperti aji mumpung. Sifat aji mumpung bertentangan dengan dharma seorang pemimpin. Ia harus rendah hati, bijak, adil dan ber budi bawa leksana.
Hal itu diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Witaradya, bahwa seorang raja yang besar, watak narendra gung binathara, mbaudhendha hanyakrawati, kutipan berikut: Dene utamaning nata, berbudi bawa laksana, lire ber budi mangkana, lila legawa ing driya, hanggung hanggeganjar saben dina, lire kang bawa laksana, hanetepi ing pangandika.
Agar kita orang bertakwa kepada Allah. Jalankanlah setiap perintah dan jauhilah segala larangan Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya dengan takwa kepada-Nya Anda dapat menggapai sukses sejati, di dunia hingga ahirat.
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا131) [النساء: 131
“Dan hanya milik Allah-lah segala yang di langit dan di segala yang di bumi. Sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang telah diberi al Kitab sebelum kalian, dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah. dan jikalau kalian kufur (ingkar) maka sesungguhnya segala yang di langit dan di bumi hanyalah milik Allah. dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” QS; An Nisa 131.
Kita sbagai orang apabila berlaku sombong, tidak ‘kan pernah merasa bila menyinggung, menyakiti, mendzolimi orang lain karena cara pandang dirinya yang merasa ‘superior‘ dengan kepuasan dan kebanggaan atas kemampuan dan prestasi yang belum seberapa dibanding kebesaran-Nya. Ia tidak melihat dirinya dari sisi kekurangan. Ketika manusia telah merasa puas dengan dirinya sendiri, maka jiwanya akan dituntun untuk mengikuti apa saja yang ia sukai.
Wahai Muhammad apa pendapatmu tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Allah menyesatkan orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Allah memateri (mengelas/mengunci mati) pendengaran mereka, hati mereka dan memasang tabir (tutup) di depan penglihatan mereka. Karena itu siapakah yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka selain Allah? Mengapa orang-orang kafir itu tidak mau berpikir?
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? QS:Al-Jaatsiyah 23.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,


Senin, 26 Januari 2015

Melok nanging ojo nyolok.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Biarlah kelihatan, tetapi tidaklah sampai keterlaluan, tidaklah berlebihan.
‘Melok nanging ojo nyolok’
Melok nanging ojo nyolok; Maksudnya, boleh saja perilaku selalu tampil beda, tapi jangan terlalu mencolok.
Melok (tampak) adalah wajar, sedangkan nyolok (terlalu tampak), sudah berlebihan.
Hal ini mengandung nilai positif, bahwa orang hidup dalam kewajaran atau kesederhanaan.
Hidup tidak bersikap menonjolkan kelebihan kita, kelebihan dalam bidang kekayaan, bidang kepandaian, bidang wewenang dan kekuasaan.
Sikap yang menonjolkan kelebihan diri itu dapat menimbulkan rasa ‘ewa’ (kurang senang) dari orang lain.
Bercerminlah kita orang, agar tidak menonjolkan kelebihan diri, untuk itu lebih baik kita simak Firman Allah dalam Al-Qur'an tentang adanya sifat kita manusia yang ‘LEMAH’.
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. QS:An-Nisaa 28.
Agar, kita orang sebaiknya tidaklah berlaku suka membusungkan dada, besar kepala, congkak, bongah, menyombongkan diri ketika merasa berprestasi, dititipi kecantikan, kegantengan, kejayaan, kekayaan, karena sok pamer, kesombongan akan mendatangkan masalah dan merugikan diri sendiri, dijauhi tetangga, teman, saudara 'sanak kadang'.
Bolehlah kita senang, bolehlah kita bangga, tetapi kesenangan atau kebanggaan itu tidak perlu dipamer-pamerkan, karena akan mendatangkan rasa tidak senang pada orang lain, yang jangan-jangan kemudian dapat mendatangkan masalah.
Orang yang bersikap menonjolkan kelebihannya, oleh masyarakat di sekitarnya lalu dikatakan ‘ngewak-ewakake’ (membuat ewa). Aja Ngewak-ewakake (jangan bersikap atau bertingkah laku merugikan orang lain).
Padahal yang terjadi kita orang sebagai manusia itu .....masihkah suka berlebih-lebihan? Maksudnya, agar kita manusia tidak melampaui batas dalam menapaki kehidupan di dunia ini..
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَسَّهُ ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. QS:Yunus12.
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, QS:Al-'Alaq 6.
Gaya hidup berlebihan, berlimpah harta kekayaan, tahta dan wanita, akan menjadikan kita orang lupa diri, lupa daratan lupa anak, lupa cucu, lupa tetangga, lupa teman "linak-litu-linggo-lico".
Sebaiknya kita orang tidaklah merasa tidak senang terhadap kelebihan orang lain. AJA EWA MARANG KALUWIHANING LIYAN
Aja : jangan, Ewa : merasa, Kaluwuhaning : kelebihan, Liyan: orang lain.
Sebaiknya kita orang tidaklah merasa tersaingi atau bersikap tidak senang terhadap kelebihan orang lain. Dengki terhadap kelebihan orang lain menjurus pada sikap sirik. Sikap ini bisa menciptakan suasana permusuhan dan dapat merugikan diri sendiri.
Kita orang sebaiknya bercermin pada diri kita sendiri atau introspeksi pada kemampuan yang ada pada kita sendiri. Seseorang di antara kita orang tidak perlu merasa cemburu atau bersikap dengki terhadap kelebihan orang lain. Sikap yang demikian adalah sikap buruk dan tak terpuji.
Hidup bermasyarakat dan kekurangannya masing-masing. Karena itulah kelebihan orang lain harus diakui sebagai karunia Alloh.
Untuk kita ketahui dan kita syukuri kehidupan ini, dikarenakan kita manusia itu SUKA MENGKUFURI NIKMAT.
وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا ۚ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). QS:Az-Zukhruf 15.
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, QS:Al-'Aadiyaat 6.
Kita orang sebaiknya berpegang pada prinsip hidup bahwa manusia ini pada dasarnya adalah lemah.
Di balik kelemahan itu ada kelebihan yang berbeda satu sama lain.
Sebagai makhluk sosial, satu sama lain saling mengisi yang lebih memberikan kepada yang lemah dan yang lemah mendukung agar kelebihan orang lain itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kita bersama.
Gotong royong diisi dengan saling bantu membantu dan bahu membahu sehingga yang lemah tidak tertindas dan yang kuat bersikap bijak.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,


Senin, 12 Januari 2015

Ora Narima Ing Pandum

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Apakah kita orang termasuk manusia yang tidak mau menerima kenyataan sebagaimana wajarnya?
Apakah kita orang termasuk manusia yang tidak mau mensyukuri nasib yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT?
Sukanya menggerutu, menyesali nasib.
Menuntut mendapatkan sesuatu di luar kemampuan kita sendiri.
Ketidakwajaran dalam menempuh menapaki kehidupan ini dapat mendorong kita orang akan bersikap dan berbuat yang bukan-bukan yang kurang baik.
Hendaknya kita orang tidak berbuta di luar batas kemampuan, karena niscaya akan menimbulkan akibat buruk dan negatif.
Al-Quran telah menceritakan aqidah dan keyakinan kita tentang Allah. Diantaranya, Allah SWT berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". (QS. Yunus: 31)
Pada dasarnya kita manusia tidak memiliki apa-apa, kita manusia dilahirkan ke dunia tanpa seutas benang-pun yang menutupi tubuh kita ini, melalui perantaraan orang tua kita-lah Allah lalu memberikan pakaian, memberi makanan, dan memberikannya penghidupan.
Pada saat kita manusia, beranjak dewasa dan mampu mencari penghidupan secara mandiri, sedikit demi sedikit Allah SWT memberi dari bagiannya.
Dalam masalah rezeki, Allah tidak memandang siapa yang diberi.
Diberikan kepada semua manusia yang berusaha mau berupaya dan bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halal.
Semua yang kita miliki itu adalah milik Allah, dan Allah menitipkan sebagian harta yang berada di genggaman kita tersebut untuk kemaslahatan orang lain.
Kita perlu cara yang ahsan untuk menjemputnya dan kita perlukan cara yang bijaksana untuk menyalurkan kepada orang lain, maka niscya Allah akan melipatgandakan harta yang sudah kita infaqkan tersebut hingga tujuh ratus kali lipat bahkan lebih.
Kemudian di surat al-Mukminun 84 s.d. 89 secara berturut-turut di banyak ayat, Allah menceritakan aqidah mereka,
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ( ) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" ( ) Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah". Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ( ) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" ( ) Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah". Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?"
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ( ) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" ( ) Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah". Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" QS:Al-Mu'minuun:88-89.
Untuk itu, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk congkak, bongah atau sombong dengan harta yang ada, justru kita harus sedih apabila masih banyak hak orang lain yang belum kita tunaikan.
Ingat, dari harta yang ada pada kita, sebagiannya adalah milik orang lain dan kita wajib menunaikannya kepada yang memang berhak, atau menunggu Allah yang akan menunaikannya.
Salah satu ciri orang yang beriman adalah ia berbahagia dan bersyukur kepada Allah apabila dapat menunaikan kewajiban untuk berbagi, karena bisa jadi harta yang memang bukan hak kita namun kita mengambil manfaat darinya.
Bagaimanapun cara kita mengapai rezeki yang sudah Allah takar buat kita, maka itu pula yang akan kita dapatkan, karena memang setiap kita sudah memiliki sejumlah rezeki yang di tentukan. Apapun cara kita orang bila mengambilnya maka itu akan mengurangi jatah kita masing-masing.
Apabila kita orang mengambil harta yang sudah dijanjikan tersebut dengan cara yang hak, maka itu akan membawa keberkahan untuk hidup dan kehidupan kita kelak.
Namun apabila kita orang mengambilnya rezeki dengan cara yang curang, maka harta itu hanya akan menyengsarakan, menjadi sumber permasalahan. Karena setiap rupiah yang kita nafkahkan buat anak dan istri akan berimplikasi buat masa depan. apalah arti kakayaan apabila tiada ketenangan dalam keluarga.
Tiada kebahagiaan bagi hamba yang menggapai rezekinya dengan cara yang tidak sah, menipu, mencuri, merampok uang rakyat atau korupsi karena hal tersebut akan membawa bencana tiada bertepi. Memang secara materi kita punya, namun hati terasa gersang karena nurani yang halus sudah kita campakkan.
Ketidak-berkahan harta tersebut akan membawa kedukaan yang tidak berkesudahan, dari ketidak harmonisan keluarga hingga penyakit yang terus mendera. Kesemua itu akan membawa kegelisahan tiada akhir, hingga kita bertobat dan menunaikan hak orang yang kita rampas.
Adapun orang yang bermalas-malasan sama saja dengan sorang yang sudah di janjikan sebuah hadiah di ujung jalan, namun tidak mau berjalan untuk mengambilnya.
Tiada sedikitpun usaha untuk mengapainya. Padahal diakherat nanti kita akan di tanya dengan apa yang kita miliki, mengapa kita tidak memaksimalkan fungsi segala yang Allah berikan, mengapa kita tidak menggunakan tangan kaki kita untuk bekerja keras, mengapa tidak kita gunakan akal kita untuk bekerja cerdas ?.
Apabila kita orang tidak mau menyesuaikan gaya hidup keluarga kita agar seimbang dengan pengahsilan yang kita peroleh, kita justru bergaya hidup mewah melampaui kemampuan pengahsilan kita, apa yang bakal terjadi?
Sikap yang berlebih bermewah-mewahan supaya dilihat orang kita itu wah mewah punya kelas tersendiri eksklusif tidak seperti mereka yang terbelakang, ini niscaya akan mendorong kita berbuat manipulasi, korupsi, penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang.
Apabila kita bersikap tamak, lobak bergaya hidup mewah tersebut dikatakan “Ora Narima ing Pandum”, atau tidak menerima kenyataan sebagaimana wajarnya. Tidak mensyukuri nasib yang telah digariskan oleh Allah SWT. Menggerutu, menyesali nasib. Menuntut mendapatkan sesuatu di luar kemampuan kita.
Menghadapi keadaan pada diri kita dan keluarga kita yang serba repot, terutama dalam materi serba tidak berkecukupan, kita orang lalu mudah menggerutu, mengumpat, menuduh Allah tidak adil, dan sebagainya; Subḥana’llāh سبحان الله. Kita orang apabila bersikap demikian itu dinamakan “Ora Narima Ing Pandum”.
Kata ‘narima’ diartikan ‘merasa puas terhadap nasibnya, menerima dengan sikap bersyukur, tidak menyesali nasib kita, tanpa sikap menuntut. ‘Narima’ diartikan menerima apa adanya, tidak menunjukkan sikap menyesali nasib.
Kata ‘rila’ pengertiannya mengarah kepada segala sesuatu yang telah dicapai dengan daya upaya kita sendiri.
Kebahagiaan hanya dapat kita capai dengan sikap ‘narima’ terhadap nasib diri kita sendiri, dengan tidak mengesampingkan do'a dan ikhtiar yang maksimal.
Meski keadaan diri kita miskin, kalau keadaan itu diterima dengan ‘narima’, orang masih tetap dapat merasa senang dan bahagia, bukannya menderita nasib buruk.
Sikap ‘narima’ berarti mengutamakan kepentingan bersama demi ketentraman dan keselamatan bersama, bukannya mengangankan diri kita sendiri beserta keluarga pada angan-angan yang tak kunjung sampai.
Sikap ‘narima’, yang dicapai bukannya materi, melainkan sesuatu yang lebih mendalam, yang lebih berharga bagi kehidupan manusia dan masyarakat di lingkungan sosial kita.
“Allahumma innii as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan.”
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang berguna, rejeki yang baik dan amal yang diterima.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Kamis, 08 Januari 2015

Rezeki Barokah



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Adalah alamiah, menjadi hak Allah untuk memberikan seberapa banyak rezeki kepada kita manusia, dan menjadi hak Allah pula untuk menariknya kembali, apabila memang kita orang yang di beri keleluasan harta tersebut tidak bisa menjaga amanah.
Pada dasarnya kita manusia tidak mempunyai apa-apa, hakikatnya semua kekayaan milik Allah SWT dan Allah memiliki hak prerogatif untuk menentukan kadar rezeki pada setiap manusia.
Harta yang ada pada kita orang, saat ini yang berada dalam pengelolaan kita sebenarnya adalah milik Allah SWT, harta itu bukanlah milik kita, kekuasaan-Nya yang menentukan kemana arah aliran dana tersebut, apabila kita tidak menyalurkan kepada yang berhak, maka Allah yang akan menyalurkan, bahkan dapat secara paksa disalurkan-Nya.
Tengoklah, uang yang saat ini ada di kantong kita orang bisa jadi adalah bukan milik kita, itu milik orang miskin atau bahkan uang tersebut adalah milik pencopet, pencuri atau perampok yang mengambil saat kita lengah. Hanya Allah yang tahu kemana arah uang tersebut.
Yang sebenarnya menjadi milik kita orang adalah uang yang kita sedekahkan, uang yang telah kita infaqkan karena itu akan menjadi tabungan kita di akherat kelak, sedangkan tabungan kita di dunia ini masih misteri milik siapa harta tersebut.
Sesungguhnya, rezeki itu ada 2, yaitu rezeki yang nampak secara lahir dan rezeki yang tak nampak secara lahir. Rezeki yang lahiriah, yaitu materi, bisa berwujud uang, mobil, lahan, perhiasan. Rezeki yang tak nampak secara lahir itu seperti, kesehatan, dikaruniai anak yang cerdas dan sholeh, kedudukan atau pangkat, diberikan kekuatan untuk selalu taat, beriman dan kesanggupan untuk beramal shalih.
Rejeki yang berbentuk lahir, yang barokah itu adalah apabila wujudnya halal, dicari dengan cara yang halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk kemaslahatan atau kebaikan hidup manusia lainnya.
Lebih baik kita orang memilih rejeki sedikit tapi barokah dibanding rejeki yang banyak tapi tidak barokah, karena didapat dengan cara haram memperolehnya, maka yang sedikit namun barokah-lah yang selayaknya dan lebih utama kita pilih.
Lebih baik rezeki barokah, meskipun sedikit rezekinya akan dicukupkan hidup kita oleh Allah, demikian juga keinginan kita senantiasa ‘kan terkendali terhadap hal-hal yang menjadi kebutuhan.
Dengan rezeki barokah, menjadikan apa yang dimakan kita akan memberikan kesehatan dan ketentraman dalam hidup, keluarga menjadi penyejuk hati, ayah,ibu dan anak saling mengerti akan keadaan, diberi kecerdasan dan kesabaran dalam menjalani hidup dan yang terpenting diberi kenikmatan untuk menjalankan ibadah, menjaga keimanan untuk taat dan lebih bertaqwa pada Allah, dikarenakan diadakan jalan keluar dari kesulitan. Berikut ini Firman-Nya.
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. QS:Ath-Thalaaq:3.
“Barokah” pengertianya adalah: kebaikan ilahi yang ada pada sesuatu dengan ciri adanya perkembangan dan pertambahan pada sesuatu tersebut.
Pengertian 'rejeki yang barokah' adalah 'rejeki' yang di dalamnya terkandung kebaikan, perkembangan dan pertambahan.
Merujuk pengertian, dapat diketahui ciri-ciri dari rejeki yang barokah adalah Rejeki yang di dalamnya memenuhi sebagian atau keseluruhan dari tiga ciri berikut:
1. Bermanfaat bagi banyak orang bahkan bagi makhluk lainnya.
2. Tidak berkurang manakala dimanfaatkan.
3. Jumlahnya bertambah manakala dimanfaatkan.
Marilah mulai sekarang kita belajar mensyukuri nikmat yang Allah berikan, bukan hanya nikmat harta benda tetapi nikmat Islam, Iman dan ihsan. Mari kita cermati Firman Allah berikut ini:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". QS:Ibrahim: 7.
Kita perlu selalu bersyukur terhadap kesehatan yang diberikan Allah, maka wujud syukur yang kita nyatakan dengan memperbanyak amal dan beribadah pada Allah, memperbanyak shalat dan puasa sunnat.
Bersyukur terhadap rezeki apa saja yang diberikan Allah, wujud bersyukur bukan hanya mengucapkan Alhamdulilah, tetapi juga banyak berbagi baik harta maupun ilmu pada sesama.
Bersyukur yang paling berat kita lakukan ketika kita menerima musibah, maka tetap musibah sebagai ujian yang kita syukuri.
Semoga Allah SWT mengkaruniakan pada kita kehati-hatian bila dititipi rezeki, karena bila kita diuji dengan rejeki yang riba tidak barokah ternyata akan lebih mudah dari pada kita diuji dengan rejeki yang barokah. Kita orang telah diperingatkan dalam surat Al-Mu'minuun berikut ini.
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka". QS;23.Al-Mu'minuun : 57.
Namun demikian, sudah menjadi kehendak Allah, betapapun bahagianya orang yang lengah, masih lebih bahagia orang yang senantiasa ingat dan waspada. Mari kita simak Firman Allah berikut ini:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
QS:Al-Mulk: 15.
Apabila kita mengambil harta yang sudah dijanjikan tersebut dengan cara yang hak, maka itu akan membawa keberkahan untuk hidup dan kehidupan kita.
Pemahaman yang baik kepada agama akan menahan kita untuk merampas apapun yang menjadi hak orang lain.
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. QS:Saba':39.
Apabila rejeki yang kita peroleh dengan cara tidak halal, maka akan banyak berakibat kerugian yang lebih besar.
1. Akan dijauhkan dari nilai barokah, tidak ada keberkahan di dalamnya.
2. Doa tidak diijabah alias tidak dikabulkan.
3. Sedekah tidak diterima.
Rejeki yang halal dan barokah, niscaya akan memperoleh ekses yang sebaliknya, yakni keberkahan yang selalu menyertai hidup, doa-doa kita mudah dikabulkan, dan sedekah amaliah-pun mudah diterima oleh Allah SWT.
Dalam konteks ini, salah satu ciri orang yang beriman adalah berbahagia dan bersyukur kepada Allah SWT apabila dapat menunaikan kewajiban untuk berbagi, karena bisa jadi harta yang memang bukan hak kita namun kita mengambil manfaat darinya.
Mari kita orang mencari rezeki dengan cara yang halal dan tidak mendzalimi orang lain, membersihkan penghasilan dengan mengeluarkan zakat, memanfaatkan rezeki untuk hal-hal yang diridhai Allah SWT. Insya Allah rezeki, umur dan kehidupan kita akan mendapat barokah dari-Nya.
Ya Allah Ya Rabbil alamin
Hindarkan dari mengejar keinginan yang tiada batas,
Jadikanlah rezeki yang engkau berikan cukup bagi kami,
Jadikan kami bermanfaat bagi lingkungan sekitar kami
Berkahilah pekerjaan, rezeki, keluarga dan umur kami Ya Rahman.
“Allahumma innii as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan.” Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang berguna, rejeki yang baik dan amal yang diterima.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Selasa, 06 Januari 2015

Memasang Kaligrafi al-Quran Menurut Ulama 4 Madzhab