Senin, 21 Maret 2016

Aturan Puasa 3 Hari Tiap Bulan



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ: «صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ»
“Kekasihku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai kutinggalkan sampai aku mati: Puasa 3 hari setiap bulan, shalat dhuha, dan tidur setelah witir.” (HR. Bukhari 1178, Muslim 721).

Hadis di atas menganjurkan untuk puasa 3 hari setiap bulan, dan tidak ditentukan tanggal berapa puasa itu dilaksanakan. Karena itu, puasa 3 hari tiap bulan, tidak harus pada saat ayamul bidh (hari-hari purnama) di tanggal 13, 14, dan 15.

Sebagaimana keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَ لَمْ يَكُنْ يُبَالِي مِنْ أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkan puasa 3 hari tiap bulan, dan beliau tidak mempedulikan tanggal berapa di bulan itu beliau melaksanakan puasa.” (HR. Ahmad 25127, Muslim 1160, Ibn Majah 1709, dan yang lainnya).

Kemudian terdapat riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضَ: ثَلَاثَ عَشْرَةَ، وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ، وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada 3 hari bidh setiap bulan: tanggal 13, 14, dan 15. (HR. Ahmad 21334, Nasai 2422, Ibn Khuzaimah 2127, dan dihasankan Syuaib Al-Arnauth).

Ulama berbeda pendapat tentang hubungan antara puasa 3 hari tiap bulan dengan puasa hari bidh (tanggal 13, 14, dan 15) setiap bulan. Ibnu Hajar menyebutkan perselisihan tersebut,

a. Ada ulama yang berpendapat bahwa anjuran puasa 3 hari setiap bulan, berbeda dengan anjuran puasa pada hari bidh (tanggal 13, 14, dan 15).

b. Pendapat kedua menyatakan bahwa anjuran puasa 3 hari setiap bulan bersifat mutlak, bisa dilakukan kapanpun, tidak harus ayamul bidh, hanya saja jika bertepatan dengan ayamul bidh lebih afdhal.

Ar-Ruyani mengatakan,
صيام ثلاثة أيام من كل شهر مستحب فإن اتفقت أيام البيض كان أحب
“Puasa 3 hari setiap bulan hukumnya dianjurkan. Jika bertepatan dengan ayamul bidh, itu lebih disukai.” (Fathul Bari, 4/227).

InsyaaAllah, pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat kedua.

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Waktu Puasa 3 Hari Tiap Bulan

Pada keterangan sebelumnya, kita menyimpulkan bahwa antara anjuran puasa hari bidh dan anjuran puasa 3 hari tiap bulan bukanlah dua anjuran yang berbeda. Artinya, bagi orang yang telah melakukan puasa 3 hari di AWAL bulan misalnya, dia tidak dianjurkan untuk berpuasa ketika hari bidh. Karena puasa 3 hari ini, bisa dilakukan di awal, tengah, atau akhir bulan.

Kemudian ulama berbeda pendapat tentang kapankah waktu yang paling afdhal untuk puasa 3 hari tiap bulan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menyebutkan beberapa sikap ulama terkait anjuran puasa 3 hari tiap bulan,

(a). Sebagian ulama menganjurkan untuk melaksanakan puasa ini di awal bulan. Karena setiap orang tidak tahu apa yang terjadi di masa mendatang, dan dikhawatirkan justru dia mendapatkan halangan untuk puasa. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri.

(b). Sebagian menganjurkan agar dilaksanakan tengah bulan, bertepatan dengan hari bidh. Karena adanya anjuran khusus sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Dzar. Disamping itu, umumnya peristiwa gerhana bulan terjadi di pertengahan bulan. Sementara kita dianjurkan untuk banyak beribadah, shalat, sedekah, dzikir, termasuk puasa, ketika terjadi peristiwa gerhana. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, As-Syafii, Ahmad, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibn Habib dari kalangan Malikiyah. Dan diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan banyak tabiin.

(c). Sementara Imam Malik berpendapat bahwa makruh menentukan puasa 3 hari tiap bulan pada tanggal tertentu. Dan yang lebih sesuai sunah puasa 3 hari setiap bulan, tanpa menentukan tanggal tertentu.

(d). Ada juga yang menganjurkan agar puasa ini dilakukan di akhir bulan. Ini adalah pendapat Ibrahim An-Nakhai – salah seorang ulama tabiin –. Beliau lebih memilih akhir bulan agar puasa ini menjadi kaffarah (penebus) untuk semua kesalahan yang dilakukan selama sebulan.

(e). Ada juga yang berpendapat, puasa ini bisa dilakukan kapanpun, namun dianjurkan agar ditepatkan bersamaan dengan hari senin atau kamis.
(simak: Fathul Bari, 4/227 dan Al-Jami’ li Ahkam As-Shiyam, hlm. 155).

Allahu a’lam
Ammi Baits: https://konsultasisyariah.com/20159-puasa-sunah-dalam-setahun-bagian-02.html

Puasa Ayyamul Bidh Tiga Hari..



Disunnahkan puasa tiga hari setiap bulan, yaitu setiap
tanggal 13, 14 dan 15 bulan-bulan Hijriyyah.

Namanya puasa Ayyaamul Bidh atau hari-hari terang
ketika Bulan Purnama.

Bulan ini (Jumadil Akhir) bertepatan dengan hari  Selasa, Rabu, Kamis 22, 23, 24 Maret 2016

Keutamaannya banyak, diantaranya sebagai bekal
akhirat, seperti puasa sebulan kalau dikerjakan rutin
setiap bulan, seperti puasa setahun dan baik untuk
kesehatan..

Diantara Dalil-Dalilnya:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam
berwasiat kepada tiga orang Sahabat Beliau supaya
puasa tiga hari setiap bulan, yaitu; Abu Hurairah, Abu Darda' dan Abu Dzar Radhiyallahu 'Anhum.
(
HR. Bukhari, Muslim, dll)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda kepada Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhuma,
"Dan berpuasalah tiga hari pada setiap bulan. Karena sesungguhnya kebaikan itu akan (dilipatkan) dengan sepuluh (kali) lipat. Oleh karenanya engkau seolah-olah berpuasa selama sebulan penuh.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda kepada Sahabat Abu Dzar Radhiyallâhu ‘Anhu tentang pelaksanaannya:
“Wahai Abu Dzar, jika engkau berpuasa tiga hari dalam
setiap bulannya maka berpuasalah pada (tanggal) 13,
14 dan 15 (maksudnya bulan hijriyyah).”
(HR. Tirmidzi dg sanad hasan)

Kamis, 03 Maret 2016

Do’a Menghilangkan Rasa Sakit



بِسْمِ اللهِ 3×

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا اَجِدُ وَاُحَاذِرُ 7×

Bismillah 3x

A’uudzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syari maa ajidu wa uhaadziru 7x


Artinya :”Dengan nama Allah (3x). Saya berlindung dengan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya dari kejahatan apa yang aku derita dan aku khawatirkan (7x)



SHOLAT GERHANA



A. Pengertian

Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilahkhusuf (الخسوف) dan juga kusuf (الكسوف) sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.

Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. [1]

1. Kusuf

Kusuf (كسوف)adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.

2. Khusuf

Khusuf (خسوف) adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.

B. Pensyariatan Shalat Gerhana

Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.

1. Al-Quran

Dalilnya adalah firman Allah SWT :

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)

Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

2. As-Sunnah

Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Selain itu juga ada hadits lainnya :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat.

Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.

C. Hukum Shalat Gerhana

Para ulama membedakan antara hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

1. Gerhana Matahari

Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan hukumnya wajib.

a. Sunnah Muakkadah

Jumhur ulama yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah berketetapan bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.

b. Wajib

Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib.

2. Gerhana Bulan

Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama terpecah menjadi tiga macam, antara yang mengatakan hukunya hasanah, mandubah dan sunnah muakkadah.

a. Hasanah

Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat gerhana bulan hukumnya hasanah.

b. Mandubah

Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah mandubah.

c. Sunnah Muakkadah

Mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.

D. Pelaksanaan Shalat Gerhana

1. Berjamaah

Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyahradhiyallahu 'anha.

2. Tanpa Adzan dan Iqamat

Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).

3. Sirr dan Jahr

Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).

4. Mandi

Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah

5. Khutbah

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khutbah pada shalat gerhana.

1. Disyariatkan Khutbah

Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :

أَنَّ النَّبِيَّ  لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).

2. Tidak Disyariatkan Khutbah

Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.

Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.

Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW :

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah.(HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk disampaikannya khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja tanpa menyebut khutbah.

6. Banyak Berdoa, Dzikir, Takbir dan Sedekah

Disunnahkan apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa, dzikir, takbir dan sedekah, selain shalat gerhana itu sendiri.

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Apabila kamu menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)

E. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana

Ada pun bagaimana bentuk teknis dari shalat gerhana, para ulama menerangkan berdasarkan nash-nash syar'i sebagai berikut :

1. Dua Rakaat

Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :

Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku' untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku' yang lebih panjang dari ini. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Bacaan Al-Quran

Shalat gerhana termasuk jenis shalat sunnah yang panjang dan lama durasinya. Di dalam hadits shahih disebutkan tentang betapa lama dan panjang shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu :

ابْنُ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَال : كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al-Baqarah, kemudian beliau SAW ruku' cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku' lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya.

Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat pertama dibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran.

Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.

3. Memperlama Ruku' dan Sujud

Disunnahkan untuk memanjangkan ruku' dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 ruku' dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku' dan sujud pada rakaat kedua.

Yang dimaksud dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah.

Panjang ruku' dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku' dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir sekadar 50 ayat.

Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku' sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku' lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku' yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang.


Rabu, 02 Maret 2016

Mereka yang Terusir dari Telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam



Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du,
Mengimani keberadaan telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bagian dari prinsip ahlus sunah. dan ini bagian dari kesempurnaan iman kepada hari akhir.
Tentang keberadaan haudh (telaga) di hari kiamat, telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam banyak hadis dengan redaksi yang berbeda. Diantaranya,
Pertama, bahwa semua nabi memiliki haudh
Dari Samurah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ نَبِىٍّ حَوْضًا وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةً وَإِنِّى أَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً
Sesungguhnya setiap nabi memiliki Haudh (telaga). Dan mereka akan saling berlomba, siapa diantara mereka yang telaganya paling banyak pengunjungnya. Dan saya berharap, aku adalah orang yang telaganya paling banyak pengunjungnnya. (HR. Turmudzi 2631 dan dishahihkan al-Albani)

Kedua, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunggu kita di telaga
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّى فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، مَنْ مَرَّ عَلَىَّ شَرِبَ ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا
Saya menunggu kalian di telaga. Siapa yang mendatangiku, dia akan minum airnya dan siapa yang minum airnya, tidak akan haus selamanya. (HR. Bukhari 6583 & Muslim 6108)

Ketiga, ada yang disesatkan, sehingga tidak bisa mendekat ke telaga
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، وَلَيُرْفَعَنَّ لِي رِجَالٌ مِنْكُمْ، ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ، أَصْحَابِي، فَيُقَالُ لِي: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Aku menunggu kalian di telaga. Sungguh ditampakkan kepadaku beberapa orang diantara kalian, kemudian dia disimpangkan dariku. Lalu aku mengatakan, “Ya Rabbi, itu umatku.” Kemudian disampaikan kepadaku, “Kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat setelah kamu meninggal.” (HR. Ahmad 4180 dan Bukhari 6576)

Keempat, air telaga bersumber dari surga
Dari Tsauban radhiyallahu 'anhu,
سُئِلَ عَنْ عَرْضِ الحَوضِ فَقَالَ « مِنْ مَقَامِى إِلَى عَمَّانَ ». وَسُئِلَ عَنْ شَرَابِهِ فَقَالَ « أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ يَغُتُّ فِيهِ مِيزَابَانِ يَمُدَّانِهِ مِنَ الْجَنَّةِ أَحَدُهُمَا مِنْ ذَهَبٍ وَالآخَرُ مِنْ وَرِقٍ
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang lebar telaga. Jawab beliau, “Dari tempatku ini sampai Oman.” Lalu beliau ditanya tentang kondisi airnya, jawab beliau, “Lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, ada dua pancuran yang selalu memancar, terhubung sampai ke surga. Yang satu dari emas dan yang satu dari perak.” (HR. Muslim 6130).

Kelima, Luas telaga dan Gayungnya
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
حَوْضِى مَسِيرَةُ شَهْرٍ ، مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ ، وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ ، وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ
Telagaku lebarnya sejauh perjalanan sebulan. Airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih harum dari kesturi, gayungnya seperti bintang di langit. (HR. Bukhari 6579 & Muslim 6111).
Gayungnya disamakan dengan bintang artinya sama dalam jumlah dan gemerlapnya.

Mereka yang Disesatkan dari Telaga
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bercerita,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi kuburan, lalu beliau memberi salam, “Salamu alaikum, wahai penduduk negeri kaum mukminin, kami insyaaAllah akan bertemu kalian.” Lalu beliau mengatakan,
“Saya ingin ketemu dengan teman-temanku.”
“Bukankah kami ini teman-teman anda ya Rasulullah?” tanya para sahabat.
“Bukan, kalian sahabatku. Teman-temanku adalah umat islam yang akan datang setelah masa ini. Aku menunggu mereka di telagaku.” Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
“Ya Rasulullah, bagaimana anda bisa mengenali umatmu yang belum pernah ketemu dengan anda?” tanya sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuat permisalan,
"أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا كَانَ لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ خَيْلٍ بُهْمٍ دُهْمٍ، أَلَمْ يَكُنْ يَعْرِفُهَا؟ " قَالُوا: بَلَى. قَالَ: " فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ، وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ"
“Bagaimana menurut kalian, jika ada orang yang memiliki kuda hitam yang ada belang putih di wajah dan kaki-kakinya, dan dia berada di kerumunan kuda yang serba hitam. Bukankah dia bisa mengenalinya?”
“Tentu dia bisa mengenali kudanya.” Jawab sahabat.
“Umatku akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan belang di wajah dan tangannya karena bekas wudhu. Saya menunggu mereka di telaga.” Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Lalu beliau mengingatkan,
أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ، أُنَادِيهِمْ: أَلَا هَلُمَّ، فَيُقَالُ: إِنَّهُمْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، فَأَقُولُ: سُحْقًا، سُحْقًا
Ketahuilah, sungguh ada beberapa orang yang disesatkan, tidak bisa mendekat ke telagaku, seperti onta hilang yang tersesat. Aku panggil-panggil mereka, “Kemarilah…kemarilah.” Lalu disampaikan kepadaku, “Mereka telah mengubah agamanya setelah kamu meninggal.”
Akupun (Nabi) mengatakan, “Celaka-celaka..”. (HR. Ahmad 8214 & Muslim 607)

Dalam riwayat Bukhari, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“Mereka umatku… “
lalu disampaikan kepadaku, “Kamu tidak tahu bahwa mereka telah mengubah (agamanya) setelah kamu meninggal”. Akupun berkomentar, “Celaka-celaka bagi orang yang mengganti agamannya setelah aku meninggal.” (HR. Bukhari 7051).

Siapakah Orang yang Mengganti itu?
Kita simak keterangan al-Qurthubi,
قال علماؤنا رحمة الله عليهم أجمعين : فكل من ارتد عن دين الله أو أحدث فيه ما لا يرضاه الله و لم يأذن به الله فهو من المطرودين عن الحوض المبعدين عنه و ... وكذلك الظلمة المسرفون في الجور و الظلم و تطميس الحق و قتل أهله و إذلالهم و المعلنون بالكبائر المستحفون بالمعاصي و جماعة أهل الزيغ و الأهواء و البدع
Para ulama (guru) kami – rahimahumullah – mengatakan,
Semua orang yang murtad dari agama Allah, atau membuat bid’ah yang tidak diridhai dan diizinkan oleh Allah, merekalah orang-orang yang diusir dan dijauhkan dari telaga…. Demikian pula orang-orang dzalim yang melampaui batas dalam kedzalimannya, membasmi kebenaran, membantai penganut kebenaran, dan menekan mereka. Atau orang-orang yang  terang-terangan melakukan dosa besar terang-terangan, menganggap remeh maksiat, serta kelompok menyimpang, penganut hawa nafsu dan bid’ah. (at-Tadzkirah, hlm. 352).

Keterangan lain juga disampaikan Ibnu Abdil Bar,
“Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang paling parah adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dari pemahaman kaum muslimin, seperti khawarij, syi’ah rafidhah dan para pengikut hawa nafsu… semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarh az Zarqaani ‘ala al-Muwaththa, 1/65).

Mengapa mereka diusir dari telaga?
Karena sewaktu di dunia mereka tidak mau minum sunah dan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih memihak bid’ah dengan sejuta alasannya, demi membela ajaran tokohnya. Sebagaimana mereka tidak minum telaga sunah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka di akhirat kelak mereka tidak boleh minum air telaga beliau, yang merupakan janji indah untuk ahlus sunah.

Terutama  Mereka Yang Mengingkari Keberadaan Telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Kita simak penuturan Imam Ibnu Katsir,
 “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – semoga Allah Memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat – yang disebutkan dalam banyak hadis, dengan banyak jalur yang kuat,  meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang keras kepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Merekalah yang paling terancam untuk diusir dari telaga tersebut pada hari kiamat. Sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf,
من كذب بكرامة لم ينلها
“Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut…”(an-Nihayah fi al-Fitan wal Malahim, 1/374).

Semoga Allah memberi kekuatan kita untuk selalu istiqamah di atas kebenaran…

Allahu a’lam