Kamis, 20 November 2014

Mutiara’ yang paling berharga dan mulia; Al-'Ashr.

Bismillahhir rahmanir rahim:
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Jika kita manusia memanfaatkan secara maksimal umur, waktu dan hari-hari yang kita lalui untuk semakin menegakkan dan meninggikan kalimat 'tauhid', maka kita orang telah memperoleh ‘mutiara’ yang paling berharga dan mulia; Al-'Ashr.
Al-'Ashr adalah sesuatu yang paling berharga yang dikaruniakan Allah pada kita manusia. Sebab dengan Al-'Ashr kita dapat beribadah kepada Allah ta’ala, dengan adanya Al-'Ashr Allah diibadahi.
Rugi semakin merugi waktu kita terbuang apabila sering dipergunakan untuk terus menerus marah-marah melulu. Untungpun buntung, karena banyak disia-siakan segala nikmat serta anugerah yang telah Allah berikan, yang telah Allah titipkan, karena tertutup hawa amarah yang berlebihan, bersifat fasya' penuh nafsu syaitan yang terkutuk.
Syaitan yang menggoda bisa langsung atau hanya lewat berita mimpi buruk yang disampaikan, dapat berujung kemarahan membabi buta, padahal berniat berbuatpun tidak ada niatan.
Orang marah. itu cepat lelah, kalau lelah pasti lengah, kalau sudah lengah tentu kalah, kalau tidak ingin kalah ya jangan suka marah-marah melulu.
Selain mengganggu suasana, sikap emosional marah-marah jelas menghambat efektivitas kerja keseharian. Rugi waktu rugi energi dan rugi apa yang telah Allah berikan atau titipkan.
Kita orang yang suka mengumbar emosional 'marah-marah' cenderung seringnya membesar-besarkan masalah. Bila sudah demikian, waktu produktif kita, waktu ibadah dan amal kebaikan kita akan hilang terbuang percuma, tak berguna, sia-sia belaka akibat kurang mensyukuri nikmat Allah. Nikmat mana lagi yang disembunyikan, dikarenakan kurang mensyukuri nikmat Allah SWT yang seharusnya dapat dinikmati menjadi disia-siakan?
Padahal Allah Ta’ala telah menjelaskannya, bahwa semua manusia berada dalam kerugian total kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi yaitu ‘iman, amal shalih, nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran’.
'Iman' terhadap hal yang diperintahkan Allah agar beriman dengannya. Namun, iman tidak akan dapat terealisasi tanpa keberadaan ilmu yang merupakan cabang darinya dimana hanya bisa terlengkapi dengannya.
'Amal shalih' mencakup semua perbuatan baik, yang zhahir maupun bathin, wajib maupun Mustahabb 'dianjurkan' yang terkait dengan hak-hak Allah dan hak makhluk-Nya.
'Saling nasehat-menasehati', berjanji, mewasiatkan satu sama lain, menggalakkan dan mensugesti untuk selalu beriman dan beramal shalih.
'Saling berwasiat satu sama lain agar bersabar' berikut dengan semua jenis-jenisnya, sabar di dalam berbuat ketaatan kepada Allah, sabar untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya dan sabar terhadap takdir, ujian, sakit, musibah maupun kenikmatan dari Allah yang tidak mengenakkannya, tanpa kesabaran.
Dengan dua hal pertama 'iman dan amal shalih', seorang hamba dapat melengkapi dirinya sendiri sedangkan dengan dua hal berikutnya dia dapat melengkapi orang lain dan dengan melengkapi keempat-empatnya, maka jadilah seorang hamba orang yang terhindar dari kerugian dengan meraih keuntungan yang besar.
Inilah dia yang tentunya akan selalu diupayakan oleh kita manusia yang berakal di dalam menapaki kehidupan ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari, 2783).
Perlu kita untuk menjaga konsistensi dalam mengajak kebaikan, karena apabila kita lalai dalam mengajak kebaikan dengan berdakwah, maka kita masih berada dalam kerugian, meskipun kita termasuk orang yang mengetahui karena dititipi ilmu berbekal pengalaman untuk mengamalkannya.
Kita ini masih berada dalam kerugian jikalau kita orang hanya mementingkan kebaikan diri sendiri 'egois' dan tidak mau memikirkan bagaimana cara agar saudara kita dapat menjadi lebih baik, selamat di dunia dan akherat.
Berikut ini sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika kita merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang kita miliki adalah bagaimana kita orang dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang kita berikan.
Allah ta’ala berfirman, secara jelas dalam Al-'Ashr berikut ini.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” QS:103 Al-'Ashr:1-3.
Allah bersumpah dengan Al-Ashr pada awal surat pendek ini, bersumpah dengan zaman atau masa, bersumpah dengan umur dan bersumpah dengan waktu.
Kita simak lebih lanjut ayat Al-'Ashr berikut ini.
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian”,
Ayat ini memiliki dua tau’kid (penguat) yaitu; inna (yang artinya sesungguhnya) dan la taukid (dalam la-fi yang artinya benar-benar atau sungguh).
Al-insana, artinya manusia (itu), di sini ada al ma’rifah (al) yang memiliki fungsi sebagai al lijinsi (menyeluruhkan, mengglobalkan). Jadi al-insana artinya: seluruh/semua manusia.
Sesungguhnya seluruh manusia 'tanpa terkecuali' itu benar-benar dalam kerugian.
Bagaimana kita akan berusaha untuk membebaskan diri kita dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat Al-'Ashr, dengan lebih beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran dengan kewajiban berdakwah dan saling menasehati agar bersabar?
Allah akan memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keimanan, amal shalih, kegiatan saling menasehati agar menegakkan kebenaran kewajiban 'berdakwah' dan saling menasehati agar bersabar, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia dan di akhirat kelak.
“Wa ‘alaihis salam wa rahmatullah wa barakaatuh"

Senin, 17 November 2014

Sapa Wani Ngumbar Nesu, Bakal Rugi Karepe Dewe

Bismillahhir rahmanir rahim:
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Hakikatnya, setiap orang mempunyai kadar kecerdasan dan kecenderungan ‘emosi’ yang berbeda satu sama lain.

Kita orang sering mengalami berbagai pengalaman yang menimbulkan berbagai 'emosi'. Keluarannya, berupa ungkapan kesedihan, kemarahan, kecemasan, keraguan, keputusasaan dan sebagainya yang seringkali muncul pada diri seseorang, bergaris-lurus dengan pengalaman atau realitas kehidupan yang ia hadapi.

Nafsu marah dilemparkan setan ke dalam hati kita manusia sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, matanya melotot, tangannya gemetaran penuh emosional dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.

Dalam hadits disebutkan larangan untuk suka marah. Hobi marah ternyata tergolong orang yang banyak merugi, dijauhkan dari rejeki karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu, pengaruhnya membawa kerugian besar yang seharusnya dapat dipergunakan untuk berkarya, bertasyakur dan lebih bersyukur atas segala nikmat-Nya.

Akan tapi yang dipetik dari kemarahan meluapnya 'emosi kemarahan' yang menerus akan menjadi tidak produktif serta melelahkan sebab energi beserta pikiran yang terkuras dengan percuma tak berguna.

Di sinilah dia di pusaran hawa nafsu amarah penuh selimut setan yang terkutuk mencari celah dan peluang untuk mempengaruhi pikiran dan akal budi manusia menjadi emosi yang tidak nalar dan tidak masuk akal.


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR al-Bukhâri).

Jariyah bin Qudamah rahimahullah sahabat dalam hadits ini yang meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya serta mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Sekalipun sifat marah itu perlu ada pada diri seseorang, sebaiknya diarahkan kepada perkara yang pada tempatnya. Pengelolaan kemarahan perlu dikawal dengan akal yang sehat, bijaksana dan batasannya yang telah ditetapkan oleh syarak.

Inilah dia sikap pemarah yang dapat mengendalikan diri, yang adil lagi terpuji, mudah memberi maaf pada yang dimarahi dan bahkan mudah meminta maaf, ia merupakan ciri dari umat Nabi Muhammad SAW yaitu umat yang bersikap penuh kesederhanaan dalam semua perkara.
‘Sapa Wani Ngumbar Nesu, Bakal Rugi Karepe Dewe’, barang siapa berani berbuat marah, akan merugi dirinya sendiri.

Kita manusia tidak perlu melakukan tuntutan kenapa kita marah apabila marah terjadi?
Akan tetapi usahakan kita untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.
Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.

Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala.

وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ ۖ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ

Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. QS:7 Al-A'raf:154.

Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah. Makna ini terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla.

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. QS:42 Asy-Syuura:37.

Memberi dan bukan meminta maaf apabila dilakukan ternyata lebih baik menurut Allah yang mengatur kehidupan ini, meskipun dalam kondisi emosional. Apalagi permohonan maaf telah dilakukan, namun apa gunanya apabila pintu maaf tidak diberikan?
Bagaimana agar dapat menahan marah dan tidak membiasakan marah, telah jelas tersirat dalam firman-Nya Ta’ala.

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. QS: 3 Ali Imran:134.

Sebaiknya apabila kita orang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah dengan sabda: “Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)". Para sahabat berkata, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?" Laki-laki itu menjawab, "Aku bukan orang gila". (HR al-Bukhâri; Fat-hul Bâri).

Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Apabila setan datang mengodamu secara langsung atau mimpi buruk yang disampaikan, maka sesegera mungkin kita dapat berlindung kepada Allah, karena Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui tersirat jelas dalam firman-Nya.

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah” QS:7 Al-A'raf:200.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.

Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai. (Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr)

wallahua’lam bishawab.

Subhanallah , wal Hamdulillah, wa Laailaahaillallahu Allahu Akbar.

Jumat, 14 November 2014

Manungsa iku kedunungan sifat apes’, manusia itu memiliki sifat lemah


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kita manusia mempunyai kecenderungan ‘antroposentris-egosentris’.
Hati-hati terhadap anggapan yang tidak benar ini.
Kecenderungan ‘antroposentris’ merupakan kecenderungan yang berdasarkan anggapan manusia menduduki posisi sentral dalam alam semesta.
Kecenderungan ‘egosentris’ adalah kecenderungan yang berdasarkan anggapan bahwa diri sendiri menduduki posisi sentral dalam masyarakat dan alam semesta.
Padahal hidup, rejeki dan mati manusia secara mutlak ditentukan oleh Sang Maha Pencipta Allah SWT, sehingga Allah yang berada sentral, dan bukanlah kita manusia sebagai mahluk yang lemah, tidak berdaya dan penuh kekhilafan serta kesalahan.
‘Manungsa iku kedunungan sifat apes’, manusia itu memiliki sifat lemah.
Agar manusia yang memiliki sifat lemah itu mau menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa, supaya dirinya mendapat kekuatan lahir dan bathin dari Allah SWT.
Agar kita manusia dapat diberi kemudahan dalam memaafkan orang lain yang sudah berbuat kesalahan dan dosa tetapi telah pula mengakui serta menyesali dosa dan kesalahan yang diperbuatnya itu.
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. QS:41 Fushshilat: 34.
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. QS: 41 Fushshilat: 35
Sebagai makhluk yang sangat lemah, baik fisik maupun psikologis maka menusia diberi kesempatan untuk memperbaiki kelemahannya tersebut.
Akal adalah kelebihan yang bisa digunakan manusia untuk menanggulangi kelemahannya dalam hal fisik. Meskipun secara fisik lemah, tetapi dengan akalnya manusia bisa menjadi makhluk yang paling kuat.
Sebagai mahluk yang memiliki sifat lemah lembut & cerdas, hanya saja manusia dapat dipengaruhi nafsu yang tidak baik yang telah mengotorinya, Kecerdasan yang dikelolanya secara strategis dapat menjadikan manusia menjadi sosok yang kukuh kuat.
Pemaaf adalah orang yang tidak mengambil haknya untuk menyakiti, mencaci maki, memusuhi orang lain yang telah menzhaliminya, meskipun ia sanggup melakukannya.
Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT pahala (kebaikan dunia dan akhirat). "

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”. QS:42 Asy-Syuura: 40
"Allah tidak menambah seorang hamba karena mau memberi maaf melainkan kemuliaan; dan tidaklah seseorang yang bersikap rendah hati di hadapan Allah melainkan akan diangkat oleh Allah derajatnya." (HR.. Abu Daud).
Memberi maaf juga termasuk sifat orang bertaqwa (QS.. Ali Imran:133), dan sekaligus merupakan manifestasi dari sikap meneladani sifat Allah yang Maha Penerima taubat, Pemaaf, dan Pengampun.
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”, QS: 3 Ali Imran: 133.

Belajar memaafkan kesalahan orang lain sejatinya merupakan manifestasi dari seni menikmati hidup bahagia. Alangkah menderita dan tersiksanya, jika seseorang terus-menerus menyimpan rasa dendam kepada orang lain.
Alangkah sengsaranya jika hati diberati rasa emosi dan amarah yang tidak berkesudahan. Belajar memaafkan jauh lebih mulia daripada menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Karena itu, hidup ini akan lebih indah jika ungkapan tiada maaf bagimu diubah menjadi aku sudah maafkan semuanya.
Mengingat kebaikan orang lain dan mengubur kebaikan yang pernah kita lakukan.
Dengan begitu kita tidak akan sempat melihat keburukannya.
Kebaikannya akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang.
Secara psikologis orang yang memaafkan lebih beruntung dari orang yang dimaafkan.
Hati yang penuh maaf akan menjadi bersih dan bersinar, karena di dalam dadanya tidak ada tersimpan kebencian dan kekotoran jiwa serta penyakit hati, yang seringkali menimbulkan penyakit lainnya.
Kebenaran hanya milik Tuhan semata.
Justru yang terbaik bagi manusia menurut islam adalah memberi penerangan, mengajak kepada kebaikan dan memotivasi orang lain untuk kembali ke jalan yang benar.
Sedangkan keputusan untuk mengikuti ajakan kebaikan adalah hak pribadi masing–masing orang.
Sebagaimana diajarankan ‘laa ikrohafiddin’, tidak ada paksaan dalam agama.
Keimanan, keyakinan dan keteguhan hati dalam memegang prinsip kehidupan hanya Allah SWT atas manusia bukan diri kita.
wallahua’lam bishawab.
Subhanallah , wal Hamdulillah, wa Laailaahaillallahu Allahu Akbar.

Rabu, 12 November 2014

Thoriqoth

Apa Arti Thoriqoth Itu? 

Thoriqoth: Adalah jalan / cara / metode implementasi syari'at. Yaitu cara / metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan Syari'at Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Subhanahu wata'ala. Jadi orang yang berthoriqoh adalah orang yang melaksanakan hukum Syari'at, lebih jelasnya Syari'ah itu hukum dan Thoriqoh itu prakteknya / pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Thoriqoh ada 2 (dua) macam metode :

A. Thoriqoh ‘Aam : adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tidak ada bimbingan khusus dari guru / mursyid / muqoddam.

B. Thoriqoh Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syari'at Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru / Syaikh / Mursyid / Muqoddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru / Syaikh / Mursyid /Muqoddam dengan idzin bai’at khusus yang sanadznya sambung sampai pada Baginda Nabi Muhammad, Rosululloh Sholallohu 'alaihi wasallam. Thoriqoh Khas ini lebih dikenal dengan nama Thoriqoh Sufiyah-Tasawwuf / Thoriqoh al-Auliya’. Thoriqoh Sufiyah yang mempunyai idzin dan sanadz langsung dan sampai pada Rosululloh itu berjumlah 360 Thariqah. 

Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul 'Ulama’ berjumlah 44 Thoriqoh, dikenal dengan Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlul Thoriqoh Al-Mu’tabarah Al-Nahdliyah. Keyakinan dalam ilmu Tarekat/Thoriqoh duduknya dihati , disebut 'Ainul yakin. Yaitu : Yakin benar sesuai apa kata hati / sanubari.

Orang-orang yang duduk di keyakinan ini disebut Mu'min karena telah mampu berketetapan dengan membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan Hatinya jadi tidak tergantung dari apa yang di sampaikan oleh Guru / Musryid / Pembimbing ataupun dari apa yang tertulis di Kitab-kitab termasuk Al-Qur'an dan Hadits, Ijma dan Qiyas. Jadilah Orang-orang MU’MIN karena akan banyak mendapat karunia dari Allah Subhanahu Wata'la sebagaimana firmanNya. "Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mu’min bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah". ( Al-Ahzab:47 ).

Hadist Qudsi, berkata Abu Hurairah ra. bahwa Rosulillah Sholallohu 'Alaihi wasallam bersabda : Allah berfirman : Hamba-Ku yang Mukmin adalah lebih Kucintai daripada setengah para Malaikat-Ku. [HR. Thobarony] Dalam kitab Mizan Al-Qubro yang dikarang oleh Imam Asy-Sya’rony ada sebuah hadits yang menyatakan :

 ان شريعتي جا ئت على ثلاثما ئة وستين طريقة ما سلك احد طريقة منها الا نجا (ميزان الكبرى للامام الشعرني : 1 / 30)

Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat. (Mizan Al-Qubro Al-Imam Sya'rony: 1 / 30 )

Dalam riwayat hadits yang lain dinyakan bahwa : ان شريعتي جائت على ثلاثمائة وثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة ( رواه الطبرني ) Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga. [HR. Thobarony] Terlepas dari perbedaan redaksi dan jumlah thoriqoh pada kedua riwayat hadits diatas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thoriqoh sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam yang Al-Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong).

Lalu bagaimana hukumnya golongan yang tidak percaya pada Hadits Nabi yang shohiih?

Semua thoriqoh sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thoriqoh mujahadah dan Thoriqoh Mahabbah. Thoriqoh mujahadah adalah thoriqoh / mitode pendekatan kepada Allah Subhanahu WaTa'ala dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabah (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan disisi Allah Subhanahu WaTa'ala dengan sedekat dekatnya. 

Sebagian besar thoriqoh yang ada adalah mujahadah. Sedangkan thoriqoh mahabbah adalah thoriqoh yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama dalam perjalanannya menuju hadlirat Allah Subhanahu WaTa'la seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur akan limpahan rohmat dan ni'mat Allah Subhanahu WaTa'ala, tidak ada target maqamat dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunnah dalam hal ini. Tapi dengan melaksanakan ibadah secara ikhlas tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala akhirat , kerinduan si hamba yang penuh cinta pada yang Kholiq akan terobati.

Yang terpenting dalam thoriqoh mahabbah bukan kedudukan / jabatan disisi Allah. tapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah Subhanahu WaTa'ala. Habibulloh adalah kedudukan Nabi kita Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam. (Nabiyulloh Adam shafiyullah, Wanabiyulloh Ibrohim Kholilulloh, Wanabiyulloh Musa Kalimulloh, Wanabiyulloh Isa Ruhulloh sedangkan Wanabiyulloh Sayyidina Nabi Muhammad SAW Habibulloh).

Satu satunya thoriqoh yang menggunakan metode mahabbah adalah Thoriqoh At-Tijany. Nama-nama thoriqoh yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para 'Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahlul Thoriqoh Al-Mu’tabarah Al-Nahdliyah dan dinyatakan Mu’tabar (benar – sanadznya sambung sampai pada Baginda Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasalllam), diantara Lain-Lainnya : 1. Qodiriyah. 2. Syadziliyah. 3. Sammaniyah. 4. Tijaniyah. 5. Shidiqiyah. 6. Rifa'iyah. 7. Nasyqabandiyah.8. Kholidiyah. 9. khalwatiyah. 10. Qodiriyah wan Nasyqabandiyah dan lain-lainnya. Penulis: Ustadz Abdul Qodir Al-Busthomi III

SANADZ SEBUAH MATA RANTAI


Sanadz adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). 

Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. 

Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.

Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad.  Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. 

Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullahakan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata: إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح) Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarakberkata: الإسْنَادُمِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُلَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ Sanadz adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan.

Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian mereka tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka. Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”. Bahasa-bahasa dengan penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad.

Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah “ar-Râyah”(bendera),“al-Hizâm”(sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid, namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.

Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumarimengutip perkataan al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata.
 Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadahan-Nafs) dan menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].

Namun demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmahas-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya “sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya memiliki kekhususan tersendiri.

Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir.Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad. Kemudian para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakkan kaki-kaki mereka.

Karena itu Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka. (Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah). Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih empat yang berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i.

Kemudian seperti itu pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf tersebut.

Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah.

Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi,dari Imam Ma’ruf al-Karkhi,dari Imam Dawud ath-Tha’i,dari Imam Habib al-‘Ajami,dari Imam al-Hasan al-Bashri,dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut: 

RosulullahSAW Imam ‘Ali ibn Abi Thalib Imam al-Hasan al-Bashri Imam Habib al-‘Ajami Imam Dawud ath-Tha’i Imam Ma’ruf al-Karkhi Imam as-Sirri as-Saqthi Imam al-Junaid al-Baghdadi Ini adalah sanadz tasawwuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah. Selain sanadz tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim,dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut: RosulullahSAW Imam ‘Ali ibn Abi Thalib Imam al-Husain (Syahid Karbala) Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin Imam Muhammad al-Baqir Imam Ja’far ash-Shadiq Imam Musa al-Kadlim Imam ‘Ali ar-Ridlo Imam Ma’ruf al-Karkhi Imam as-Sirri as-Saqthi Imam al-Junaid al-Baghdadi Sanadz yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanadz ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka.

Sanadz kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanadz pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawwuf biasanya mempermasalahkan sanadz pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk menanamkan keraguan tentang kebenaran sanadz tasawwuf.

Namun tentang sanadz yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawwuf. Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn.

Setelah membahas panjang lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Oleh Thoriqoh Syadziliyah

Sanadz Adalah Mata Rantai Bagian 2 (Dua) Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasanal-Hâfizh Jalaluddinas-Suyuthi yang beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau menolaknya. Dalam risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat kuat, dengan melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut: Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Ala an-Nafî).

Ini karena seorang al-Mutsbitmemiliki keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nafî. Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah. Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke hadapan para sahabat terkemuka untuk memintakandoa keberkahanbaginya.

Termasuk salah satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat mendoakannya berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-Kamâl. Kemudian al-‘Askaridalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman tersebut.

Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan shalat hingga umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkumpul dan bertemu dengan para sahabat senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya.

Dan beliau baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah merupakan kepastian.Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib seringkaliberziarah kepada istri-istri Rasulullah, termasuk salah satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah; ibunda al-Hasan al-Bashri,dan -tentunya-al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi diragukan.

Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambungkepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata kepada al-Hasan al-Bashri:“Wahai Abu Sa’id, seringkaliengkau berkata “Rasulullah bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”.

Al-Hasan al-Bashri menjawab: “Wahai putra saudaraku,engkau telah bertanya kepadaku suatu pertanyaanyang tidak pernah ditanyakanorang-orang sebelummu.Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan memberitahukan jawabannyakepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari kalangan Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar dariku “Rasulullah bersabda…”maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi Thalib”[3].

Al-Hafizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam karya-karya mereka dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.

Di antaranya riwayat yang ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata: “Menghkabarkan kepada kami Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan al-Bashri,dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullahbersabda: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصّغِيْرِحَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُصَابِحَتّى يُكْشَفَ عَنْهُ Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari musibahnya tersebut.

Hadits ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah menilainyaberkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i,oleh Imam al-Hakim yang menilainyashahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisidalam kitab al-Mukhtârah.
Kemudian dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi dalam menjelaskan hadits di atas berkata mengutip pernyataanImam ‘Ali al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih berada di Madinah.

Sementara Abu Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah, al-Hasan al-Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri berkata: “Saya melihat al-Zubair membai’at ‘Ali”[4].

Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:
1. Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut; Mengkhabarkan kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullahbersabda: أفْطَرَ الْحَاجِمُوَالْمَحْجُوْمُ (روَاهُ النّسَائيّ) Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam. (HR. an-Nasa’i).
2. Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya tentang zakat fitrah dengan sanad berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata; Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawildari al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali ibn ‘Abi Thalib: إنْ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْكُمْفَاجْعَلُوْهُ صَاعًا مِنْ بُرٍّ وَغَيْرِهِ(رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ) Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlahzakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan lainnya. (HR. ad-Daraquthni).
3. Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan kepada kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata; Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa ia berkata: كَفَّنْتُ النَّبِيَّفِي قَمِيْصٍ أبْيَض وَثَوْبَي حَبْرَة (رَواهُ الْخَطيْبُالْبَغْدَادِيّ) Aku telah menkafani Rasulullahdengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar. (HR. al-Khatib al-Baghdadi).
4. Abu Ya’la dalam Musnad-nyaberkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyahibn Asyras berkata; Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili berkata; Aku mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar Rasulullahbersabda: مَثَلُ أُمّتِيْ مَثَلُ الْمَطَر (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى) Perumpamaan umatku seperti hujan. (HR. Abu Ya’la). As-Sayyid As’ad (w 1016 H), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka.

Kesimpulan tulisan beliau adalah bahwa sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, namun pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut.
Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu hadits[5].

Masih menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqahmemiliki dasar yang berasal dari Rasulullahsendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah berkata: “Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?”.Semua sahabat terdiam sambil berharap untuk mendapatkan baju tersebut.

Kemudian Rasulullah berkata: “Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang Rasulullah lalu memakaikanbaju tersebut kepadanya seraya berkata: “Pakailah,semoga banyak memberikan manfa’at bagimu”.

Setelah Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat kepada pernik-pernik warna kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata: “Wahai Ummu Khalid ini adalah pakaian yang indah”[6]. Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqahini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab memakaikanal-Khirqahkepada Uwais al-Qarani.

Simak perkataan Imam asy-Sya’rani berikut ini: Uwais al-Qarani telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan memakai selendang (ar-ridâ’)dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits.

Para pengemban riwayat sanad al-khirqahini adalah para Imam yang agung dari umat ini. Adapun beberapa huffâzh al-hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda tersebut saja.

Seperti khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau surban dililitkan pada kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’), bahwa Sanad al-’Imâmahas-sauda’ ini telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah memakai kanal-’Imâmahas-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab sahih, lalu Rasulullahberkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah seperti ini”.

Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan seterusnya-hingga ‘Ali ibn Abi Thalib-. Di samping itu jalur sanad tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana telah disebutkan--”[7]. Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang berupa al-’Imâmahas-saudâ’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam ath-Thabarani dan lainnya.

Di antaranya sebuah hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau berkata: “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan‘Imâmah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:

 إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ أمَدَّنِيْيَوْمَ بَدْرٍ وَحُنَيْنِبِمَلاَئِكَةٍ يَعْتَمُّوْنَ هذِهِ العِمَامَةَ، وَقَالَ: إنّ العِمَامَةَ حَاجِزٌ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإيْمَانِ (رَوَاهُ الحَافِظُ أبُو مُوْسَى الْمَدَنِيّ فِي كِتَابِ السّنَّة فِي سَدْلِ العِمَامَةِ وَغَيْرُهُ)

“Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan‘Imâmah semacam ini”. (Kemudian juga Rasulullahbersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan”.(HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmahdan oleh lainnya). والله أعلم بالصواب Wa Shollallohu ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa 'Alaihi Wa Alihi shohbihi Sallam. DAFTAR PUSTAKA Ashbahâni,al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut Asqalâni, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasahal-‘Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M. Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dâr al-Fikr, Bairut. Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman,al-Maqâlâtal-Sunniyah Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M. Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhâtal-Makkiyyah, ta’lîq Mahmûd Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut Nasab al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo Mesir Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi,Bairut, Dâr al-Âfâq al-Jadidah, t. th. Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih al-Jailâni, al-Gunyah,Dâr al-Fikr, Bairut Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi,cet. 1, 1388-1969,Maktabah al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi,Cairo Khalîfah, Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut. Nabhâni, al, Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlahal-Qusyairiyyah, tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji,Dâr al-Khair. Rifâ’i, al, Abu al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004,Dâr al-Masyârî’, Bairut. Sarrâj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb,al-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-Ahdlar,Cairo Mesir. Al-YawâqîtWa al-JawâhirFi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir,t. th, Mathba’ah al-Haramain. Al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain. Al-Anwar al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhûtal-Makkiyyah, Bairut, Dar al-Fikr, t. th. Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq,‘Alam al-Fikr, Cairo Suhrâwardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah, tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003,Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut. Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî,cet. 1, 1412-1992,Dâr al-Jail, Bairut. Tim PengkajianKeislaman Pada Jam’iyyah al-Masyarial-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar al-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dâr al-Masyârî’, 1423 H, 2002 M. Al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf, Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M Oleh: Thoriqoh Syadziliyah