Rabu, 09 November 2016

Shalat tidak tuma’ninah ketika shalat.



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang
shalat tidak tuma’ninah ketika shalat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”.
Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (HR Ahmad no 11532, dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihul Jami’ 986)
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta.
Tuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang yang shalatnya salah,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu” (HR Bukhari 757 dan Muslim 397 dari sahabat Abu Hurairah).
Para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang ruku’ dan sujud namun tulangnya belum lurus, maka shalatnya tidak sah dan dia wajib mengulangnya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata kepada orang yang tata cara shalatnya salah ini, “Ulangi shalatmu, sejatinya Anda belumlah shalat”.
Perbedaan Khusyuk Iman dengan Khusyuk Munafik
ورأى عمر بن الخطاب رضي الله عنه رجلاً طأطأ رقبته في الصلاة فقال: يا صاحب الرقبة، ارفع رقبتك، ليس الخشوع في الرقاب، إنما الخشوع في القلوب.
Umar Bin Khattab melihat seseorang menundukkan lehernya begitu dalam di dalam shalat. Beliau berkata, "Hai pemilik leher, angkatlah lehermu, khusyuk itu bukan di leher, tapi didalam hati". (Ihya Ulumudin Juz 5 hal 41).
Oleh karena itu di dalam atsar disebutkan: Hudzaifah r.a berkata:
"Waspadalah kalian kepada khusyuk nifaq". Ditanyakan kepada beliau, "Apa yang dimaksud dengan khusyuk nifaq?". Beliau menjawab: "Yaitu engkau melihat khusyuknya tubuh, tetapi hatinya tidak khusyuk". (Kitab Madariju Salikin Jilid 1 hal 521).
قال الإمام ابن القيم رحمه الله: وقال بعض العارفين: حسن أدب الظاهر عنوان أدب الباطن، ورأى بعضهم رجلاً خاشع المنكبين والبدن، فقال: يا فلان، الخشوع ها هنا وأشار إلى صدره لا ها هنا وأشار إلى منكبيه ...
Imam Ibnu Qayyim mengtakan: "Sebagian para ulama menyatakan bahwa perilaku lahiriah yang baik merupakan refleksi dari perilaku batin. (Kitab Madariju Salikin Jilid 1 hal 521).
Namun, ada juga ulama lain yang ketika melihat seseorang yang terlihat khusyuk mengatakan, "Hai Fulan, khusyuk itu letaknya disini", Sambil menunjuk ke arah dada, "Bukan disini...". Sambil menunjuk ke arak pundak.
ورأت عائشة رضي الله عنها شباباً يمشون ويتماوتون في مشيتهم، فقالت لأصحابها: من هؤلاء؟ قالوا نُسَّاك أي عُبَّاد، فقالت: كان عمر بن الخطاب إذا مشى أسرع، وإذا قال أسمع، وإذا ضرب أوجع، وإذا أطعم أشبع، وكان هو الناسك حقّاً.
Aisyah r.a melihat sejumlah pemuda berjalan dengan langkah gontai. Beliau bertanya kepada para sahabatnya, "Siapa mereka?".
Mereka menjawab, "Para nasik ahli ibadah". Aisyah r.a berkata:
"Umar Bin Khattab itu kalau di berjalan sangat cepat, kalau berbicara suaranya lantang, kalau dia memukul menyakitkan, kalau dia memberi makan mengenyangkan, dan dialah ahli ibadah yang benar". (Kitab Madariju Salikin Jilid 1 hal 521).
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,

Senin, 07 November 2016

Tertipu nikmat sehat dan waktu senggang.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Menjalani hari dengan penuh syukur, adalah pekerjaan yang paling menguntungkan. Karena syukur inilah yang akan mengundang segala nikmat yang ada.
Berdoalah agar dijadikan orang yang pandai bersyukur. Karena syukur mampu menjadikan bahagia dan nikmat setiap saat
.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)
Ibnul Jauzi mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).”
Setiap musibah, pasti memiliki nikmat tersembunyi. Syukur adalah salah satu aktifitas yang mampu menyingkap nikmat tersebut.
‘Umar bin Khattab mengatakan,
إنِّي أَكْرَهُ الرَّجُلَ أَنْ أَرَاهُ يَمْشِي سَبَهْلَلًا أَيْ : لَا فِي أَمْرِ الدُّنْيَا ، وَلَا فِي أَمْرِ آخِرَةٍ .
“Aku tidak suka melihat seseorang yang berjalan seenaknya tanpa mengindahkan ini dan itu, yaitu tidak peduli penghidupan dunianya dan tidak pula sibuk dengan urusan akhiratnya.”
Jika selama ini kita selalu dipenuhi oleh kesengsaraan, Sepertinya kita jarang bersyukur. Karena kita orang yang dengan ikhlas bersyukur selalu mendapat jalan keluar.
Ibnu Mas’ud mengatakan,
إنِّي لَأَبْغَضُ الرَّجُلَ فَارِغًا لَا فِي عَمَلِ دُنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ
“Aku sangat membenci orang yang menganggur, yaitu tidak punya amalan untuk penghidupan dunianya ataupun akhiratnya.” [*]
Seberat apapun masalah kita, tetap ada alasan kuat untuk selalu bersyukur.
Rasa syukur akan menambahkan nikmat yang sedikit, dan akan melipat gandakan sesuatu yang banyak.
Semoga Allah selalu memberi kita taufik dan hidayah-Nya untuk memanfaatkan dua nikmat ini dalam ketaatan. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang tertipu dan terperdaya.
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,
[*] Dua perkataan sahabat ini terdapat dalam Al Adabusy Syar’iyyah, Ibnu Muflih, 4/303, Mawqi’ Al Islam
— di Alcal-Modcoll.

Senin, 31 Oktober 2016

Mencuri dari shalatnya?

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.

“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (HR Ahmad no 11532, dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihul Jami’ 986)

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta.

Tuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang yang shalatnya salah,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu”  (HR Bukhari 757 dan Muslim 397 dari sahabat Abu Hurairah)

Para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang ruku’ dan sujud namun tulangnya belum lurus, maka shalatnya tidak sah dan dia wajib mengulangnya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata kepada orang yang tata cara shalatnya salah ini, “Ulangi shalatmu, sejatinya Anda belumlah shalat”.

Minggu, 23 Oktober 2016

Berupaya Meraih Khusyuk diawali dengan Thaharah.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Berupaya Meraih Khusyuk diawali dengan Thaharah.
Thaharah, kegiatan bersuci umat Islam.
Thaharah berasal dari bahasa Arab اَلطَهَارُ berarti kebersihan atau bersuci.
Thaharah menurut syari’at Islam, kegiatan bersuci dari hadas maupun najis sehingga seorang diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah shalat atau tawaf.
Bersuci dari najis meliputi bersuci pakaian dan tempat.
Bersuci dari hadas dilakukan dengan mandi, berwudhu, dan tayammum.
اِنَ اللهَ يُحِبُ التَوَابِيْنَ وَيُحِبُ اْلمُتَطَهِرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222).
لَايُقْبَلُ اللهِ الصَلَاةَ بِغَيْرِ طَهُوْرُ
“Allah tidak akan menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” (HR. Muslim).
Air, dasar penggunaan air untuk bersuci dari najis adalah pernyataan Rasulullah berikut ini:
اَلْمَاءُ لَا يُنَجِسُهُ شَيْءٌ اِلَا مَا غَلِبَ عَلَى طَعْمِهِ اَوْ لَوْنِهِ اَوْرِيْحِهِ
“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jik berubah rasanya, warnanya atau baunya.”(HR. Ibn Majjah dan Baihaqi).
Dalam kajian ilmu fikih, dikenal tiga macam air, yaitu.
Air mutlak ialah air yang suci dan dapat digunakan untuk bersuci serta untuk mencuci. Seperti untuk berwudhu, mandi, dan membersihkan najis. Airnya adalah seperti air hujan, air salju atau es atau embun, air laut dan begitu juga dengan Air zamzam.
Sebagaimana firman Allah:
وَيُنَزِلُ عَلَيْكُمْ مِنَ اْلسَمَاءِ مَاءً لِيُطَهِرُكُمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengannya.” (QS. Al-Anfal:11)
Air laut, sebagaimana Sabda Rasulullah:
هُوَ اْلطَهُوْرُ مَاؤُهُ اْلحِلُ مَيْتَتُهُ
“Laut itu airnya suci, bangkainya pun halal.”( HR.al-Khamsah)
Air zamzam, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Ali r.a:
اَنَ رَسُوْلَ اْللهِ ص. م. دَعَا بِسِجْلللٍ مِنْ مَاءلٍ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ فَنَتَوَضَاءْ
“Bahwasanya Rasulullah saw meminta diambilkan satu ember zamzam, kemudian beliau minum dan berwudhu dengan air zamzam tersebut.”(HR.Ahmad).
Air musta’mal ini adalah air sisa yang mengenai badan manusia karena telah digunakan untuk wudhu atau mandi.
Air musta’mal bukanlah air yang sengaja ditampung dari bekas mandi atau wudhu. Tetapi adalah percikan air wudhu atau air mandi yang bercampur dengan air dalam bejana atau bak.
Dalam berbagai ungkapan hadis, air musta’mal tidaklah najis, sehingga penggunaannya adalah sah.
Seperti hadis riwayat Maimunah berikut ini:
كُنْتُ اَغْتَسِلُ اَنَا وَ رَسُوْلَ اللهِ مِنْ اِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلجَنَابَةِ
“Kami mandi jinabah bersama Rasulullah saw dari satu tempat air yag sama.” (HR. Tarmidzi)
Air yang bercampur dengan benda suci statusnya akan tetap suci selama kemutlakannya terjaga, yaitu tidak berubah bau, warna, atau rasanya. Misalnya ketika air itu bercampur dengan daun bidara, ai sabun, air kapur dan juga seperti lebah, semut dan lain-lain.
Ketika seseorang ingin bersuci (dalam artian bersuci dari hadas), dan dia tidak menemukan air untuk itu, maka di berikan kemudahan dengan bersuci dengan debu, disebut dengan bertayammum.
Benda yang dapat menyerap kotoran, seperti batu, tisu, kayu dan semacamnya. Dalam hal ini, dikhususkan untuk menghilangkan najis, seperti untuk beristinja’.
“Najis” menurut bahasa apa saja yang kotor. Sedangkan menurut syara’ berarti kotoran yang mengakibatkan shalat tidak sah, seperti darah dan kencing.
Secara wujud najisnya, najis dibagi dalam dua,
Najis ‘Ainiyah, semua najis yang berwujud atau dapat dilihat melalui mata atau mempunyai sifat nyata, seperti warna atau baunya kotoran, kencing dan darah.
Najis Hukmiyah, semua najis yang telah kering dan bekasnya sudah tidak ada lagi serta sudah hilang antara warna dan baunya kencing yang mengenai baju yang kemudian kering sedang bekasnya tidak nampak.
Najis Mughallazah, najis yang tergolong berat, yang termasuk kedalam najis ini adalah anjing dan babi.mAdapun cara untuk menyucikan najis ini dengan disamak.
Cara penyamakannya dengan membasuh najis dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu air itu dicampur dengan lumpur, baik najis itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, baik berada pada tubuh, pakaian maupun tempat shalat.
Najis Mukhaffafah adalah najis yang ringan. Kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain susu dan umurnya belum sampai dua tahun.
Adapun cara untuk menyucikan najis ini adalah dengan diperciki air sampai merata, baik najis itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, baik berada pada tubuh, pakaian maupun tempat shalat.
Najis Mutawassithah, najis yang sedang atau pertengahan antara kedua najis sebelumnya. Yaitu najis selain anjing dan babi atau najis selain kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain susu. Yaitu seperti kencing manusia, tahi, binatang dan darah.
Untuk menyucikannya adalah dengan mengalirinya air sehingga dapat menghilangkan bekasnya dan hilang pula seifa-sifatnya, seperti warna, rasa maupun baunya, baik najis itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, baik berada pada tubuh, pakaian maupun tempat shalat.
Bersuci dari najis merupakan hal yang wajib dilakukan muslim yang sudah baligh.
Babi, termasuk didalamnya daging, tulang, rambut dan kulitnya, hal ini didasarkan pada firman Allah “....atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu adala kotor.”(QS. Al-An’am:145)
Kencing manusia, baik itu masih bayi maupun sudah dewasa, laki-laki ataupun perempuan. didasarkan hadis nabi saw yang menyebutkan, “Ada seorang badui kencing di Mesjid Nabi, saat lantainya masih berupa pasir dan batu kerikil. Nabi pun melarang tindakan itu. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk membawakan seember air dan menyiramkannya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Kotoran manusia. Hal itu sebagaimana sabda Nabi, “Jika salah seorang diantara kamu pergi untuk buang air besar, hendaklah ia membawa tiga batu untuk bersuci dengannya, karena ketiganya sudah cukup memadai baginya.”(HR Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i dan Darimi).
Darah Haid, didasarkan sabda Rasulullah “Apabila pakaian dari salah seorang diantara kalian terkena darah haid, hendaklah ia menggosoknya, lalu menyiramnya dengan air, untuk kemudian shalat dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Darah nifas, disamakan dengan darah haid.
Air liur dan keringat anjing; melalui sabdanya, “Sucinya bejana adalah salah seorang diantara kalian jika dijilat oleh seekor anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan yang pertama kali adalah dengan tanah.”(HR. Muslim).
Kencing dan kotoran binatang atau burung yang tidak boleh dimakan dagingnya. Misalnya srigala, burung yang memiliki cakar, dan keledai.
Madzi, yaitu cairan yang berwarna putih yang keluar dari saluran air kencing saat seseorang terangsang. Sabda Rasulullah, “Mengenai keluarnya madzi, ada keharusan wudhu.” (Mutafaqqun ‘alaihi).
Wadi, yaitu cairan berwarna putih yang keluar setelah kencing karena suatu penyakit, kedinginan atau karena sebab lainnya.
Sisa atau bekas makan dan minum babi dan anjing. Sisa makanan dan minuman hewan ini najis, karena air liurnya bercampur dengan makanan dan minumannya tersebut.
Daging bangkai, semua binatang yang hidup di darat, yang kalau mati darahnya tetap mengalir. Sementara binatang yang hidup di dalam air, ikan dengan berbagai macamnya, jika mati hukumnya tidak najis. Adapun binatang yang tidak punya darah mengalir, seperti lalat, semut, nyamuk dan jangkrik, jika mati tidak merupakan najis.
Darah binatang yang disembelih dan darah yang mengalir deras dari tubuh manusia ataupun binatang.
Bagian tubuh ternak yang dipotong saat maih hidup.. Rasulullah saw bersabda:
مَاقُطِعَ مِنَ اْلبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَةُ فَهُوَ مَيْتَةٌ
“Bagian apapun yang dipotong dari binatang yang masih hidup, adalah bangkai.” (HR, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kaidah umum bersuci dari najis ialah menghilangkan najis sampai bersih, tanpa sisa, baik bentuk, rasa, warna maupun baunya. Tetapi, jika ada salah satu najis yang sulit untuk dihilangkan, maka diberikan keringanan untuk itu. Misalnya, darah yang sulit dihilangkan warnanya.
Apabila kita menyiramkan air ke tanah atau lantai yang terkena najis, lalu bekasnya hilang, maka hukumnya sudah suci. Demikian itulah ketentuan yang berlaku, kecuali lidah anjing yang menjilat bejana. Untuk menyucikan bejana tersebut harus dibasuh tujuh kali yang salah satunya dengan pasir.
Untuk menyucikan khuf, sepatu atau sandal yang terkena najis, cukup dengan menggosokannya ke tanah sampai bekasnya hilang.
Bersuci dari najis setelah buang air kecil ataupun besar, cukup dengan menggunakan beberapa buah batu yang dapat membersihkan bagian yang terkena najis. Akan lebih baik jika menggunakan air. Dan yang akan lebih baik lagi jika menggunakan air setelah beberapa buah batu.
Jika tanah yang trerkena najis menjadi kering oleh sinar matahari, atau oleh hembusan angin yang bisa menghilangkan bekas najisnya, maka hukumnya suci. Dan untuk menyucikan kencing bayi laki-laki yang hanya menyusu, cukup dengan menyiramkan air secara merata pada bagian yang terkena. Adapun pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan, harus dicuci seperti kalau mencuci air kencing orang dewasa.
Istinja’ dapat dilakukan untuk membersihkan segala hal yang keluar dari kubul dan dubur dengan menggunakan air. Dan Istijmar dapat dilakukan dengan benda kering yang punya daya serap, seperti batu atau benda-benda lainnya.
Jika najis itu berupa kotoran , darah atau darah yang mengenai badan, pakaian atau tempat, maka cara membersihkannya adalah dengan digosok kemudian disiram dengan air, sekali atau beberapa kali. Sampai hilang bau atau rasa dan warnanya.
Hadas secara etimologi ialah seseorang yang tengah berhadas,
Sedangkan secara terminologi ialah sesuatu yang mengkotori aggota tubuh yang bisa mencegah sahnya solat.seperti orang yang junub, haid, nifas dan lain-lain.
Hadas kecil, ialah bila seseorang dalam keadaan bernajis disebabkan buang hajat selama belum beristinjak, maka ia tetap dalam keadaan berhadas kecil.
Hadas besar, keadaan bernajis yang mewajibkan ia mandi sesudah berhadas besar itu, baru dinamakan ia suci dari hadas besar.
Karena bersenggama (bersetubuh suami istri) biar keluar mani atau tidak, maka wajib mandi.
Firman Allah swt. Dalam surat Al-Maidah ayat 6:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَا طَهَرُوْا
“Jika kamu junub (bersutubuh) maka hendaklah kamu mandi.”
Keluar mani baik karena bersutubuh atau tidak seperti bermimpi dan sebagainya, maka wajib mandi.
Sebab buang kotoran (haid). Sabda Rasulullah saw. dari ‘Aisyah r.a. berkata: telah bersabda Rasululloh saw. Kepada Fatimah binti Hubaisyi, katanya:“Bila datang haidh maka tinggalkanlah shalat (sembahyang) dan bila telah habis maka mandilah Anda.” Hadits riwayat Bukhari
Karena nifas (darah yang keluar sesudah melahirkan), bila darah nifas itu telah berhenti, maka diwajibkan mandi.
Bersuci dari hadas kecil, mengerjakan shalat wajib ataupun shalat sunat.
Sabda Rasulullah saw. yang artinya:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu bila berhada,sehingga ia berwudu.” (Hadits riwayat Bukhari)
Melakukan thawaf di ka’bah, baik thawaf wajb ataupun thawaf sunat. Dari ‘Aisyah r.a. bahwasanya Nabi saw. Ketika sampai di makkah , pekerjan yang mula-mula dikerakannya ialah berwudu’ sesudah itu beliau melakukan thawaf. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Seseorang yang berhadas besar karena bersetubuh atau bagi wanita karena haidh atau nifas, dilarang mengerjakan:
Shalat (sembahyang) baik wajib maupun sunat.
Thawaf di ka’bah, baik fardhu ataupun sunat, memegang dan membaca Al-Qur’an, masuk ke masjid.
Sabda Rasulullah saw. yang artinya :Aku tidak menghalalkan mesjid bagi orang haidh, nifas dan junub.(Hadits riwayat Abu Daud).
Berpuasa baik puasa wajib maupun sunat.
Mencerai (menthalaq) isteri yang haidh atau nifas.
Dari Ibnu Umar r.a. ernah menceraikan isterinya yang sedang dalam haidh, maka Umar bertanya kepada Rasulullah saw. maka Nabi menyuruh Ibnu Umar agar kembali kepada isterinya, nantikan sampai ia suci dari haidnya, kemudian jika dikehendakinya boleh ditahannya, tapi bila hendak dicerai juga boleh dilakukan sebelum ia di campuri.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
“Wudhu” adalah cara untuk bersuci dari hadas kecil agar seseorang bisa melaksanakan shalat. Rasulullah saw bersabda:
لَايُقْبَلُ اللهُ الصَلَاةَ مَنْ اَحْدَثَ حَتَى يَتَوَ ضَاءَ
“Allah tidak akan menerima shalat orang yang masih berhadas sehingga ia berwudhu.”(HR. Bukhari, muslim dan lainnya)
Cara berwudhu telah digambarkan oleh allah di dalam al-Quran, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basulah wajah dan tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan basulah kaki kalian sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6)
Allah berfirman: “Jika kalian sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kalian tidak memperoleh air, mak bertayammumlah denagn tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS.al-Maidah: 6).
Apakah tayammum itu kemurhan atau azimah ( keadaan terdesak)? Sebagian ulama fikih mengatakan, “Ketika tidak ada air, tayammum itu azimah. Tetapi demi uzur, tayammum adalah kemurahan”.
Apabila berhadas besar, wajib dilakukan mandi wajib. dengan lakukan hal yang wajib saja, Pertama, niat, kemudian mengguyur sekujur tubuh dengan air yang suci dan menyucikan secara merata.
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,

Rabu, 19 Oktober 2016

Berupaya Meraih Khusyu dengan Iman , Ihsan dan Tumakninah



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Berupaya Meraih Khusyu dengan
Iman , Ihsan dan Tumakninah.
Upaya agar shalat khusyuk dan pelaksanaannya, kita sendiri yang menentukan.
Untuk itu, niat tulus dari dalam hati menjadi kunci utama.
Kewajiban kita setiap muslim yang juga masuk dalam rukun islam adalah melaksanakan shalat, khususnya shalat lima waktu.
Untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah shalat kita harus melaksanakannya dengan khusyuk.
Bagaimana kita dapat berupaya meraih khusyu dengan
Iman , Ihsan dan Tumakninah.
Berpijak dari Islam yang dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu Iman,Islam, dan Ihsan.
Iman yang berarti "membenarkan" itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-Taubah:
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ ۚ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ ۚ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya". Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu". Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. QS:At-Taubah: 61.
Iman menurut istilah artinya percaya dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan atau ditunjukkan dengan amal perbuatan.
Pengertian Iman Kepada Allah SWT adalah percaya dengan yakin dalam hati adanya Allah SWT ditunjukkan dengan ucapan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. QS:An-Nisaa: 136.
Dengan demikian, orang yang beriman adalah orang yang percaya Allah SWT., malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, takdir-Nya, dan hari akhir zaman.
Untuk itu, kita muslim yang beriman hendaknya juga tidak memandang ‘Ihsan’ itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari ‘Addin’ dan bagian terbesar dari ke Islamannya.
Dalam mengejawantahkan ‘ihsan’ bagi mahluk sosial seperti kita manusia, khususnya kaum muslim ialah dengan cara berbuat baik.
Karena dengan pemahaman ihsan ini kita merasa selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat,
Selain berbuat baik Ihsan juga merupakan salah satu cara agar kita bisa khusyuk dalam beribadah kepada Allah SWT.
Kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah. Jika tidak bisa, kita harus yakin bahwa Allah SWT yang Maha Melihat selalu melihat kita.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. QS:Al-Baqarah:186.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, QS:Qaaf:16.
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. QS:Al-Fajr: 14
Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat Ihsan ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an...
Sesungguhnya, dengan keimanan dan ihsan yang berupaya kita raih, perlu ketenangan dan jeda dalam melakukan sesuatu gerakan dalam shalat sebagai salah satu bentuk latihan dalam mengontrol pikiran kita.
Jika kita melakukan sesuatu dengan penuh ketenangan, maka pikiran akan lebih terkonsentrasi pada apa yang sedang kita laksanakan, seluruh tindakan diiringi dengan penuh kesadaran yang tinggi, dan kita senantiasa selalu mengendalikan pikiran kita dengan penuh konsentrasi.
Salah satu rukun shalat terpenting adalah tuma’ninah dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Tuma’ninah adalah tenang sejenak setelah semua anggota badan berada pada posisi sempurna ketika kita melakukan suatu gerakan rukun shalat.
Tuma’ninah ketika rukuk berarti tenang sejenak setelah rukuk sempurna. Tuma’ninah ketika sujud berarti tenang sejenak setelah sujud sempurna.
Tuma’ninah dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalat kita tidaklah sah
.
Apabila kita terlalu cepat shalatnya, menjadikan shalat kita tidak tuma’ninah. Jadikanlah sabar dan shalat telah difirmankan Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. QS:Al-Baqarah: 153.
Perlu kesabaran dalam shalat, tenang dan tidak tergesa-gesa, agar kita dapat melaksanakan shalat dengan Tuma’ninah.
Makna tuma’ninah dalam pelasanaan shalat sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan shalat.
“Tuma’ninah” adalah sebagai salah satu rukun shalat diantara rukun shalat yang lainnya.
Tuma’ninah juga sebagai sarana mencapai tingkat kesempurnaan shalat guna membangkitkan kesadaran diri, bahwa kita sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa
Tuma’ninah dapat dicapai dengan cara rileks dan tidak tergesa gesa dalam melaksanakan gerakan shalat pikiran hanya terpokus pada apa yang sedang dikerjakanya, Usahakan tubuh kita tidak tegang.
Segala sesuatu yang dikerjakan dengan penuh konsentrasi dan ketenangan akan membawa hasil yang baik dan sempurna.
Bagaimana shalat yang baik telah difirmankan Allah SWT dalam suart Al-Baqarah berikut ini.
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu´. QS:Al-Baqarah: 238
Pikiran kita yang tenang dan damai adalah pikiran yang penuh dengan energi yang melimpah karena kita hanya berpokus pada satu tujuan, sehingga pikiran tidak terpecah.
Apabia kita damai dan tenang, maka pikiran kita akan terpusat pada apa yang sedang kita lakukan.
Salah satu syarat mencapai tingkatan shalat yang sempurna salah satunya adalah Tuma’ninah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan untuk memperbaiki shalat.
Wahai fulan, perbaguslah shalatmu, tidakkah seorang yang shalat mencermati shalatnya, bagaimana dia mengerjakan shalatnya. Sesungguhnya dia shalat untuk kebaikan dirinya sendiri. (HR. Muslim 5.75/642)
Tumaninah dapat dicapai dengan cara rileks dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan gerakan shalat pikiran hanya terpokus pada apa yang sedang dikerjakanya, Usahakan tubuh anda tidak tegang.
Shalat seseorang tidak akan sah kecuali dengan menunaikan rukun thuma'ninah (ithmi'naan).
Padahal rukun thuma'ninah ini menyertai rukun shalat yang lain, maksudnya adalah bahwa harus ada thuma'ninah ketika berdiri dalam shalat, ketika ruku', sujud dan ketika duduk di antara dua sujud.
Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan shalat tetapi mereka belum shalat (HR. Ahmad).
Banyak orang yang mendirikan shalat, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah (HR. Abu Dawud).
Bisa jadi seseorang mengerjakan shalat selama enam puluh tahun, tetapi Allah tidak menerima satu shalat pun darinya.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda :
Sesungguhnya seseorang mengerjakan shalat selama enam puluh tahun, tetapi satu shalat pun tidak diterima. Barangkali karena dia menyempurnakan rukuk, tetapi tidak menyempurnakan sujud. Atau, dia menyempurnakan sujud, tetapi tidak menyempurnakan rukuk.
Hal ini berdasarkan hadits Thalq bin Ali al Hanafiy dan Abu Hurairah radliyallahu 'anhuma berikut :
“Allah tidak akan melihat shalat orang yang tidak menegakkan tulang punggungnya antara rukuk dan sujudnya.”
Dari Abu Qatadah, berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sejelek-jelek orang yang mencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Mereka bertanya : Wahai Rasulullah! Bagaimana dia bisa mencuri shalatnya?
Beliau menjawab : “Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Atau beliau bersabda :
“Dia tidak menegakkan tulang punggungnya waktu rukuk dan sujud.”
Dalam sebuah Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan untuk memperbaiki shalat.
َوَفِي لَفْظٍ لِأَحْمَدَ : ( فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ اَلْعِظَامُ )
Dan menurut lafazh riwayat Ahmad : "Maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang itu kembali (seperti semula)."
َوَمِثْلُهُ فِي حَدِيثِ رِفَاعَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ وَابْنِ حِبَّانَ ( حَتَّى تَتْمَئِنَّ قَائِمًا )
Hal serupa terdapat dalam hadits Rifa'ah Ibnu Rafi' menurut riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban: "Sehingga engkau tenang berdiri (mu)."
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,

Kamis, 29 September 2016

Iman إيمان berarti "percaya" atau "membenarkan"



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Iman إيمان diambil dari kata kerja 'Āamana' ءامن yang dimaksud "percaya" yukminu يوءمن yang berarti "percaya" atau "membenarkan". 

Iman الإيمان berarti "percaya kepada Allah". 

Kita orang yang beriman adalah ditakrifkan sebagai orang yang percaya atau mukmin. 

Perkataan Iman yang berarti "membenarkan" itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-Taubah:

وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ ۚ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ ۚ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya". Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu". Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. QS:At-Taubah: 61.

Iman menurut istilah artinya percaya dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan atau ditunjukkan dengan amal perbuatan.
Pengertian Iman Kepada Allah SWT adalah percaya dengan yakin dalam hati adanya Allah SWT ditunjukkan dengan ucapan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah 
dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. QS:An-Nisaa: 136.

Membuktikan adanya Allah SWT. sudah barang tentu tidak akan
sama dengan membuktikan adanya berbagai benda di sekitar kita. 
Adanya (wujud) benda dapat dibuktikan dengan alat indra manusia sehingga dapat dilihat, diraba, dan didengar. 

Akan tetapi, wujud Allah SWT. sangat berbeda, tidak dapat dilihat, diraba, dan didengar langsung melalui pancaindra
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang beriman adalah orAng yang percaya Allah SWT., malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, takdir-Nya, dan hari akhir. 

Orang yang tidak percaya kepada Allah SWT.,Malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-Nya, takdir-Nya dan hari akhir disebut orang kafir.

Takrif Iman menurut istilah syariat Islam ialah seperti diucapkan oleh Ali bin Abi Talib r.a. berikut: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota."

Aisyah r.a. pula berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota."

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS:Al-Hujuraat: 14.

Imam al-Ghazali menghuraikan makna Iman adalah: "Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)."

Iman pada maknawi sebenarnya ialah membenarkan dengan hati, menyatakan dengan lisan, dan melakukan dengan anggota badan.

Ringkasnya orang yang beriman ialah orang yang percaya, mengaku dan beramal. Tanpa tiga syarat ini, kita orang itu belumlah dikatakan beriman yang sempurna. Ketiadaan satu saja dari yang tiga itu, sudah lain makna iman pada kita orang, yaitu fasik, munafik atau kafir.

Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh

Selasa, 27 September 2016

Tidak ada paksaan (memeluk) agama (Islam), memang.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Hidup itu pilihan, bukan?
Tidak ada paksaan (memeluk) agama (Islam), memang !
Pilih yang benar, atau yang sesat?
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan (memeluk) agama (Islam), Sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ …
Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir”…
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah Pelindung orang yang beriman . Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut (syetan) yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kesesatan). Mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya. QS. Al-Baqarah: 256 – 257
• فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8)
• قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
• وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya (8) Sungguh beruntung yang mensucikannya (jiwanya) (9) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya (10)
Baik adalah fitrah manusia, sedang hawa nafsu adalah potensi buruk, apabila keduanya mendorong lahirnya perbuatan yang dipandu oleh hidayah, maka hasilnya: manusia akan berakhlak mulia, bernafsu mutmainah, dan masyarakat yang serasi, seimbang,, dan salam atau selamat, sejahtera dan damai.
“Baik” adalah fitrah manusia, sedang ‘hawa nafsu’ adalah potensi ‘buruk’, apabila keduanya mendorong lahirnya perbuatan yang dipandu oleh Thaghut atau syetan, untuk itu hasilnya kita sebagai manusia akan berakhlak tercela, bernafsu amarah, dan lawwamah, dan masyarakat yang terbentuk adalah keserakahan, keresahan, dan kerusakan.
Kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk tunduk dan taslim secara sempurna serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau 'Alaihi sholatu wa sallam dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal yang syubhat atau ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang-pun dari manusia.
Penyerahan diri kita, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah merupakan kewajiban seorang muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah 'Alaihi sholatu wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam An-Nisaa:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” QS: An-Nisaa’: 80.
Kita sebagai seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kita tidaklah boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallm sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Apa yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.
Sesungguhnya kita sebagai seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum kitanya berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa salam, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya.
Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keraguan dan pendapat orang.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Senin, 26 September 2016

Berserah Diri (Taslim) تسليم,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kita sebagai manusia
Berserah Diri (Taslim) تسليم,
 
Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir Dan Bathin.
Sebaiknya kita tidaklah menolak sesuatu sari Al-Qur'an san A-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syaikh, ataupun pendapat imam dan yang lainnya.”
Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri Rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:
“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [1]
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Fungsi kita sebagai manusia adalah sebagai Abidullah dan sebagai Khalifatullah fil-ardi.
Kita manusia sebagai Abidullah, kita sebagai manusia seharusnya tunduk patuh (sami’na wa atha’na) sebagai pijakan perbuatan manusia sebagai dasarnya firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariyat:56 yang berbunyi.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS:Adz-Dzaariyat:56.
Kita sebagai manusia sesungguhnya sebagai Khalifah, manusia bertindak berdasarkan akalnya yang sehat dengan dasarnya surat Ali Imran:190 yang berbunyi:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, QS:Ali Imran: 190
Sesungguhnya, pijakan perbuatan manusia adalah Fi’il Allah yaitu Sunnatullah sebagai ciptaan Allah.
Untuk itu,kesadaran pikiran kita sebagai manusia merupakan hal yang paling fundamental.
 
Sebab kesadaran itu mempengaruhi pikiran dan perbuatan.
 
Inti dari kita sebagai manusia adalah kesadaran kita yang terpenting.
 
Manusia tegak dengan kesadarannya, demikian pula manusia runtuh dengan kesadarannya.
 
Bila tegak, martabat manusia lebih tinggi dari malaikat, dan sebaliknya bila runtuh, manusia menjadi lebih hina dari binatang seperti tersirat dalam surat Al-Furqan berikut ini.
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). QS:Al-Furqaan: 44.
Allah telah menciptakan segala sesuatu secara lengkap bagi manusia dijelaskan dala surat Al-Baqarah berikut ini. 
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. QS:Al-Baqarah:29.
Kebebasan memilih secara demokratis diberikan pada kita manusia, terserah kepada kita sebagai manusia untuk memilih mau tegak (mu’min) atau runtuh (kufur) seperti tersirat dalam surat Al-Kahfi be4rikut ini.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. QS:Al-Kahfi: 29.

Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Jumat, 09 September 2016

“Qurban” yang berarti dekat (قربان)



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Allah SWT telah mensyariatkan kurban dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (QS:Al-Kautsar: 1 — 3).
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.” (QS:Al-Hajj: 36).
Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).
Dari Ummu Salamah ra, Nabi saw bersabda, “Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.” HR Muslim
Arti sabda Nabi saw, ” ingin berkorban” adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah, bukan wajib.
Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, ”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984).
Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik– mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Ja’bari, 1994) .
Dasar dari sunnah qurban antara lain, firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (QS: Al Kautsar : 2).
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR.At-Tirmidzi).
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni).
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li).
Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib.
Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلا نا
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha.
Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Sejarah Idul Adha sendiri yang dialami oleh Nabi Ibrahim as dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,