Kamis, 29 September 2016

Iman إيمان berarti "percaya" atau "membenarkan"



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Iman إيمان diambil dari kata kerja 'Āamana' ءامن yang dimaksud "percaya" yukminu يوءمن yang berarti "percaya" atau "membenarkan". 

Iman الإيمان berarti "percaya kepada Allah". 

Kita orang yang beriman adalah ditakrifkan sebagai orang yang percaya atau mukmin. 

Perkataan Iman yang berarti "membenarkan" itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-Taubah:

وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ ۚ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ ۚ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya". Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu". Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. QS:At-Taubah: 61.

Iman menurut istilah artinya percaya dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan atau ditunjukkan dengan amal perbuatan.
Pengertian Iman Kepada Allah SWT adalah percaya dengan yakin dalam hati adanya Allah SWT ditunjukkan dengan ucapan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah 
dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. QS:An-Nisaa: 136.

Membuktikan adanya Allah SWT. sudah barang tentu tidak akan
sama dengan membuktikan adanya berbagai benda di sekitar kita. 
Adanya (wujud) benda dapat dibuktikan dengan alat indra manusia sehingga dapat dilihat, diraba, dan didengar. 

Akan tetapi, wujud Allah SWT. sangat berbeda, tidak dapat dilihat, diraba, dan didengar langsung melalui pancaindra
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang beriman adalah orAng yang percaya Allah SWT., malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, takdir-Nya, dan hari akhir. 

Orang yang tidak percaya kepada Allah SWT.,Malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-Nya, takdir-Nya dan hari akhir disebut orang kafir.

Takrif Iman menurut istilah syariat Islam ialah seperti diucapkan oleh Ali bin Abi Talib r.a. berikut: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota."

Aisyah r.a. pula berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota."

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS:Al-Hujuraat: 14.

Imam al-Ghazali menghuraikan makna Iman adalah: "Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)."

Iman pada maknawi sebenarnya ialah membenarkan dengan hati, menyatakan dengan lisan, dan melakukan dengan anggota badan.

Ringkasnya orang yang beriman ialah orang yang percaya, mengaku dan beramal. Tanpa tiga syarat ini, kita orang itu belumlah dikatakan beriman yang sempurna. Ketiadaan satu saja dari yang tiga itu, sudah lain makna iman pada kita orang, yaitu fasik, munafik atau kafir.

Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh

Selasa, 27 September 2016

Tidak ada paksaan (memeluk) agama (Islam), memang.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Hidup itu pilihan, bukan?
Tidak ada paksaan (memeluk) agama (Islam), memang !
Pilih yang benar, atau yang sesat?
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan (memeluk) agama (Islam), Sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ …
Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir”…
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah Pelindung orang yang beriman . Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut (syetan) yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kesesatan). Mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya. QS. Al-Baqarah: 256 – 257
• فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8)
• قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
• وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya (8) Sungguh beruntung yang mensucikannya (jiwanya) (9) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya (10)
Baik adalah fitrah manusia, sedang hawa nafsu adalah potensi buruk, apabila keduanya mendorong lahirnya perbuatan yang dipandu oleh hidayah, maka hasilnya: manusia akan berakhlak mulia, bernafsu mutmainah, dan masyarakat yang serasi, seimbang,, dan salam atau selamat, sejahtera dan damai.
“Baik” adalah fitrah manusia, sedang ‘hawa nafsu’ adalah potensi ‘buruk’, apabila keduanya mendorong lahirnya perbuatan yang dipandu oleh Thaghut atau syetan, untuk itu hasilnya kita sebagai manusia akan berakhlak tercela, bernafsu amarah, dan lawwamah, dan masyarakat yang terbentuk adalah keserakahan, keresahan, dan kerusakan.
Kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk tunduk dan taslim secara sempurna serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau 'Alaihi sholatu wa sallam dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal yang syubhat atau ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang-pun dari manusia.
Penyerahan diri kita, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah merupakan kewajiban seorang muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah 'Alaihi sholatu wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam An-Nisaa:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” QS: An-Nisaa’: 80.
Kita sebagai seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kita tidaklah boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallm sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Apa yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.
Sesungguhnya kita sebagai seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum kitanya berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa salam, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya.
Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keraguan dan pendapat orang.
Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Senin, 26 September 2016

Berserah Diri (Taslim) تسليم,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kita sebagai manusia
Berserah Diri (Taslim) تسليم,
 
Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir Dan Bathin.
Sebaiknya kita tidaklah menolak sesuatu sari Al-Qur'an san A-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syaikh, ataupun pendapat imam dan yang lainnya.”
Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri Rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:
“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [1]
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Fungsi kita sebagai manusia adalah sebagai Abidullah dan sebagai Khalifatullah fil-ardi.
Kita manusia sebagai Abidullah, kita sebagai manusia seharusnya tunduk patuh (sami’na wa atha’na) sebagai pijakan perbuatan manusia sebagai dasarnya firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariyat:56 yang berbunyi.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS:Adz-Dzaariyat:56.
Kita sebagai manusia sesungguhnya sebagai Khalifah, manusia bertindak berdasarkan akalnya yang sehat dengan dasarnya surat Ali Imran:190 yang berbunyi:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, QS:Ali Imran: 190
Sesungguhnya, pijakan perbuatan manusia adalah Fi’il Allah yaitu Sunnatullah sebagai ciptaan Allah.
Untuk itu,kesadaran pikiran kita sebagai manusia merupakan hal yang paling fundamental.
 
Sebab kesadaran itu mempengaruhi pikiran dan perbuatan.
 
Inti dari kita sebagai manusia adalah kesadaran kita yang terpenting.
 
Manusia tegak dengan kesadarannya, demikian pula manusia runtuh dengan kesadarannya.
 
Bila tegak, martabat manusia lebih tinggi dari malaikat, dan sebaliknya bila runtuh, manusia menjadi lebih hina dari binatang seperti tersirat dalam surat Al-Furqan berikut ini.
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). QS:Al-Furqaan: 44.
Allah telah menciptakan segala sesuatu secara lengkap bagi manusia dijelaskan dala surat Al-Baqarah berikut ini. 
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. QS:Al-Baqarah:29.
Kebebasan memilih secara demokratis diberikan pada kita manusia, terserah kepada kita sebagai manusia untuk memilih mau tegak (mu’min) atau runtuh (kufur) seperti tersirat dalam surat Al-Kahfi be4rikut ini.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. QS:Al-Kahfi: 29.

Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,

Jumat, 09 September 2016

“Qurban” yang berarti dekat (قربان)



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Allah SWT telah mensyariatkan kurban dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (QS:Al-Kautsar: 1 — 3).
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.” (QS:Al-Hajj: 36).
Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).
Dari Ummu Salamah ra, Nabi saw bersabda, “Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.” HR Muslim
Arti sabda Nabi saw, ” ingin berkorban” adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah, bukan wajib.
Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, ”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984).
Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik– mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Ja’bari, 1994) .
Dasar dari sunnah qurban antara lain, firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (QS: Al Kautsar : 2).
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR.At-Tirmidzi).
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni).
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li).
Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib.
Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلا نا
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha.
Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Sejarah Idul Adha sendiri yang dialami oleh Nabi Ibrahim as dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,

Minggu, 04 September 2016

Tuma’ninah adalah tenang sejenak



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Perbaikan kualitas dan kuantitas ibadah senantiasa perlu kita lakukan, untuk semakin mendekatkan diri pada Allah SWT.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai orang yang mencuri ketika shalat. Demikian tegas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
أسوأ الناس سرقة الذي يسرق من صلاته
“Pencuri yang paling jelek adalah orang yang mencuri shalatnya.” Setelah ditanya maksudnya, beliau menjawab: “Merekalah orang yang tidak sempurna rukuk dan sujudnya.” (HR. Ibn Abi Syaibah, Thabrani, Hakim, dan dishahihkan Ad-Dzahabi).
Sesungguhnya, ketenangan dan jeda dalam melakukan sesuatu gerakan dalam shalat adalah salah satu bentuk pelatihan dalam mengontrol pikiran kita.
Jika kita melakukan sesuatu dengan penuh ketenangan, maka pikiran akan lebih terkonsentrasi pada apa yang sedang kita laksanakan, seluruh tindakan diiringi dengan penuh kesadaran yang tinggi, dan kita senantiasa selalu mengendalikan pikiran kita dengan penuh konsentrasi.
Salah satu rukun shalat terpenting adalah tuma’ninah dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Tuma’ninah adalah tenang sejenak setelah semua anggota badan berada pada posisi sempurna ketika kita melakukan suatu gerakan rukun shalat.
Tuma’ninah ketika rukuk berarti tenang sejenak setelah rukuk sempurna. Tuma’ninah ketika sujud berarti tenang sejenak setelah sujud sempurna.
Tuma’ninah dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalat kita tidaklah sah.
Apabila kita terlalu cepat shalatnya, menjadikan shalat kita tidak tuma’ninah. Jadikanlah sabar dan shalat telah difirmankan Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. QS:Al-Baqarah: 153.
Perlu kesabaran dalam shalat, tenang dan tidak tergesa-gesa, agar kita dapat melaksanakan shalat dengan Tuma’ninah.
Makna tuma’ninah dalam pelasanaan shalat sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan shalat.
“Tuma’ninah” adalah sebagai salah satu rukun shalat diantara rukun shalat yang lainnya.
Tuma’ninah juga sebagai sarana mencapai tingkat kesempurnaan shalat guna membangkitkan kesadaran diri, bahwa kita sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa
Tuma’ninah dapat dicapai dengan cara rileks dan tidak tergesa gesa dalam melaksanakan gerakan shalat pikiran hanya terpokus pada apa yang sedang dikerjakanya, Usahakan tubuh kita tidak tegang.
Pelaksanaan shalat hendaknya dari awal hingga akhir selalu dilaksanakan dengan cara tuma’ninah, sehingga pada akhirnya kita dapat menerapkan di setiap sendi kehidupan dengan cara tenang tidak tergesa gesa.
Segala sesuatu yang dikerjakan dengan penuh konsentrasi dan ketenangan akan membawa hasil yang baik dan sempurna.
Bagaimana shalat yang baik telah difirmankan Allah SWT dalam suart Al-Baqarah berikut ini.
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu´. QS:Al-Baqarah: 238
Pikiran kita yang tenang dan damai adalah pikiran yang penuh dengan energi yang melimpah karena kita hanya berpokus pada satu tujuan, sehingga pikiran tidak terpecah.
Apabia kita damai dan tenang, maka pikiran kita akan terpusat pada apa yang sedang kita lakukan.
Oleh karena itu salah satu syarat mencapai tingkatan shalat yang sempurna salah satunya adalah Tuma’ninah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan untuk memperbaiki shalat.
Wahai fulan, perbaguslah shalatmu, tidakkah seorang yang shalat mencermati shalatnya, bagaimana dia mengerjakan shalatnya. Sesungguhnya dia shalat untuk kebaikan dirinya sendiri. (HR. Muslim 5.75/642)
Tumaninah dapat dicapai dengan cara rileks dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan gerakan shalat pikiran hanya terpokus pada apa yang sedang dikerjakanya, Usahakan tubuh anda tidak tegang.
Shalat seseorang tidak akan sah kecuali dengan menunaikan rukun thuma'ninah (ithmi'naan).
Padahal rukun thuma'ninah ini menyertai rukun shalat yang lain, maksudnya adalah bahwa harus ada thuma'ninah ketika berdiri dalam shalat, ketika ruku', sujud dan ketika duduk di antara dua sujud.
Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan shalat tetapi mereka belum shalat (HR. Ahmad).
Banyak orang yang mendirikan shalat, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah (HR. Abu Dawud).
Bisa jadi seseorang mengerjakan shalat selama enam puluh tahun, tetapi Allah tidak menerima satu shalat pun darinya.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda :
Sesungguhnya seseorang mengerjakan shalat selama enam puluh tahun, tetapi satu shalat pun tidak diterima. Barangkali karena dia menyempurnakan rukuk, tetapi tidak menyempurnakan sujud. Atau, dia menyempurnakan sujud, tetapi tidak menyempurnakan rukuk.
Hal ini berdasarkan hadits Thalq bin Ali al Hanafiy dan Abu
Hurairah radliyallahu 'anhuma berikut :
“Allah tidak akan melihat shalat orang yang tidak menegakkan tulang punggungnya antara rukuk dan sujudnya.”
Dari Abu Qatadah, berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sejelek-jelek orang yang mencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Mereka bertanya : Wahai Rasulullah! Bagaimana dia bisa mencuri shalatnya? Beliau menjawab : “Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Atau beliau bersabda :
“Dia tidak menegakkan tulang punggungnya waktu rukuk dan sujud.”
Dalam sebuah Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan untuk memperbaiki shalat.
َوَفِي لَفْظٍ لِأَحْمَدَ : ( فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ اَلْعِظَامُ )
Dan menurut lafazh riwayat Ahmad : "Maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang itu kembali (seperti semula)."
َوَمِثْلُهُ فِي حَدِيثِ رِفَاعَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ وَابْنِ حِبَّانَ ( حَتَّى تَتْمَئِنَّ قَائِمًا )
Hal serupa terdapat dalam hadits Rifa'ah Ibnu Rafi' menurut riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban: "Sehingga engkau tenang berdiri (mu)."
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Wallahu a'lam bishshawab,
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh,