Minggu, 16 Desember 2018

Selasa, 09 Oktober 2018

Paling di ijabah untuk berdo'a, kecuali pada 15 tempat di Mekah dan sekitarnya.


Tidak ada di atas permukaan bumi ini satu negara mana pun yang paling di ijabah untuk berdoa, kecuali pada 15 tempat di Mekah dan sekitarnya, yaitu :

1) di dalam Kabah,
2) di depan Hajar Aswad,
3) di depan Rukun Yamani,
4) di bawah talang emas (mizab),
5) di Hijir Ismail,
6) di depan Multazam,
7) di belakang Maqam Ibrahim,
8) di sumur Zamzam,
9) di Safa,
10) di Marwah,
11) di Masy’arilram (dekat Mina),
12) sewaktu wukuf di Padang Arafah,
13) di Jumrah Aqabah,
14) di Jumrah Wustha, dan
15) di Jumrah Ula.
" (Hadist Rasulullah, diriwayatkan oleh Imam Thabrani)

Semoga kita semua bisa mengunjungi tempat-tempat ini..
Aamiin Allahumma Aamiin.

Selasa, 02 Oktober 2018

Di antara bentuk peringatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya, Allah wujudkan dalam bentuk musibah dan bencana alam.


Allah berfirman,

قل هو القادر على أن يبعث عليكم عذابا من فوقكم أو من تحت أرجلكم أو يلبسكم شيعا ويذيق بعضكم بأس بعض

Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain ..." (QS. Al-An 'am: 65)

Semua Penyebab, Alasannya Adalah Sesuatu

Gempa bumi, musibah yang saat ini menggelayuti perasaan takut banyak manusia bisa jadi merupakan hukuman dari Al-Jabbar (Dzat Yang Maha Perkasa), karena sikap manusia yang meninggalkan aturan Allah, yang bergelimang dengan maksiat dan dosa. Manusia bemaksiat kepada Allah, mereka melakukannya secara terang-terangan di hadapan Allah, tanpa ada rasa malu kepada Allah. Selanjutnya, Tuhan memerintahkan bumi untuk bergoyang, gempa bumi, sehingga orang-orang akan kembali dan meminta pengampunan kepada-Nya. Allah berfirman,

وما نرسل بالآيات إلا تخويفا

"Tidaklah kami mengirim tanda-tanda kekuasaan itu (berupa musibah dan sejenisnya), selain dalam rangka menakut-nakuti mereka." (QS. Al-Isra ': 59)

Untuk lebih menguatkan hal ini, mari kita perhatikan ayat berikut

Allah berfirman,

ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ( ke jalan yang benar). "(QS. Ar-Rum: 41)

Allah menyebut maksiat manusia sebagai makar, dan adzab bisa jadi akan turun secara tiba-tiba tanpa aba-aba:

أفأمن الذين مكروا السيئات أن يخسف الله بهم الأرض أو يأتيهم العذاب من حيث لا يشعرون * أو يأخذهم في تقلبهم فما هم بمعجزين

"Apakah mereka yang melakukan kejahatan dengan berbuat salah, merasa aman (dari bencana) Tuhan menenggelamkan bumi dengan mereka, atau hukuman datang kepada mereka dari mana mereka tidak menyadarinya. Atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu). "(QS. An-Nahl: 45 - 46)

Allah juga mengingatkan, bisa jadi balasan makar Allah untuk hamba-Nya yang membangkang , datang ketika mereka sedang tidur:

أفأمن أهل القرى أن يأتيهم بأسنا بياتا وهم نائمون

"Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?" (QS. Al-A'raf: 97)

Hukuman Tuhan atas Segalanya

Memang, janji Allah, ketika datang ke sekelompok orang maka adzab ini mencakup orang-orang baik dan buron, orang dewasa dan anak-anak, pria dan wanita. Semuanya sama-sama bisa dihukum. Bahkan termasuk makhluk yang tidak memiliki dosa dan kesalahan, semacam anak-anak dan binatang sekalipun, mereka turut merasakannya.

Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam hadis, dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,

إذا ظهرت المعاصي في أمتي عمهم الله بعذاب من عنده , فقلت يا رسول الله, أما فيهم يومئذ أناس صالحون? قال: بلى, قلت: كيف يصنع بأولئك? قال: يصيبهم ما أصاب الناس, ثم يصيرون إلى مغفرة من الله ورضوان

"Apabila perbuatan maksiat dilakukan secara terang-terangan pada umatku, maka Allah akan menimpakan adzab-Nya secara merata." Aku bertanya, "Ya Rasulullah, bukankah di antara mereka saat itu ada orang-orang saleh? Beliau bersabda, "Benar." Ummu Salamah kembali bertanya, "Lalu apa yang akan diterima oleh orang ini? Beliau menjawab, "Mereka mendapatkan adzab sebagaimana yang dirasakan masyarakat, kemudian mereka menuju ampunan Allah dan ridha-Nya." (HR. Ahmad 6: 304)

Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, karena perbuatan maksiat yang pernah mereka lakukan . Allah berfirman,

وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو عن كثير

"Setiap musibah yang menimpa kalian, karena perbuatan tangan kalian, dan Allah memberi ampunan terhadap banyak dosa." (QS. As-Syuro: 30)

Minggu, 26 Agustus 2018

Kota Makkah di masa lampau

Kota Makkah di masa lampau

IHRAM.CO.ID, JEDDAH -- Sangat sedikit sumber yang menceritakan ihwal Abdul Ghaffar, seorang fotografer pertama yang mengabadikan foto-foto Kota Makkah. Namun, karyanya tentang musim haji menjadi karya yang pas untuk dibicarakan 130 tahun kemudian.

Dilansir di Arab News pada Kamis (23/8), Ghaffar mencatat pengalamannya di Makkah pada 1884-1885 di buku hariannya. Ia juga menceritakan kisah itu pada mentornya, seorang cendekiawan Belanda Christiaan Snouck Hurgronje melalui surat.

“Ketika bertemu di Makkah, Ghaffar sudah mempraktikkan fotografi, tetapi dengan sedikit pendekatan sistematis pada objeknya,” kata Hurgronje dalam bukunya.

Antara 1886 hingga 1889, Ghaffar mengabadikan sekitar 250 foto Makkah dan penduduknya, serta foto-foto pertama jamaah selama musim haji. Hurgronje adalah yang pertama mengakui karya Ghaffar menampilkan bakat artistik yang cukup besar.

Selain cintanya untuk fotografi, Ghaffar bekerja sebagai dokter gigi, pembuat jam tangan, pembuat senjata, dan smelter untuk emas dan perak. Namun, minat terbesarnya terletak pada teknik fotografi modern yang diperkenalkan oleh Hurgronje.

photo
Kota Makkah zaman dulu (ilustrasi)

Ghaffar ingin sekali belajar lebih banyak soal fotografi. Karena itu, Hurgronje menawari Ghaffar untuk menggunakan studio fotografinya.

Setelah Hurgronje dipaksa meninggalkan Semenanjung Arab, Ghaffar menggunakan cetakan albumen dan 144 piring kaca yang ditinggalkan oleh orang Belanda itu. Hurgronje percaya peninggalannya itu bisa memanipulasi materi yang diambil Ghaffar.

Ghaffar membagikan foto-fotonya dengan Hurgronje dan jelas karyanya dipengaruhi oleh surat-menyurat dengan fotografer Belanda itu. Namun, Ghaffar tidak menyetujui keinginan Hurgronje yang mengusulkan untuk membidik penggambaran perempuan, budak, orang miskin, dan elemen antropologis lainnya.

Berita Terkait


Ghaffar hanya mengambil beberapa yang menarik perhatiannya. Kemudian, fotografer misterius itu mengirim lebih dari 250 foto yang dicetak ke Hurgronje dalam 15 pengiriman antara 1886 dan 1889. Hurgronje menerbitkan sejumlah foto-foto itu dalam bukunya.

photo
Kota Makkah dalam bidikan lensa fotografer Abdul Ghaffar. 
Ia disebut sebagai fotografer pertama Kota Makkah.

Karya-karya sisa Ghaffar yang belum diterbitkan atau setidaknya gambar-gambar yang dikaitkan dengannya, disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda dalam arsip Snouck Hurgronje. Lagi-lagi, foto-foto itu terdaftar sebagai karya di bawah nama fotografer Belanda.

Dalam sebuah publikasi pada 1889, yang menampilkan koleksi foto jamaah haji pertama selama musim haji, Hurgronje menyebutkan Ghaffar hanya sebagai seorang dokter dari Makkah yang dia didik. Hari ini, gambar-gambar itu berbicara menawarkan cerita alternatif penggambaran umum Semenanjung Arab dari era itu. Seluruh koleksi itu bernilai hingga 120 ribu poundsterling (160 ribu dolar AS). Di dalamnya termasuk foto pertama Kiswah Al-Ka'bah di Makkah, gambar masjid dan Ka'bah Suci, tenda-tenda jamaah di Gunung Arafah, dan lukisan di Masjid Nabawi di Madinah.

Redaktur : Ani Nursalikah
Reporter : Umi Nur Fadhilah



Rabu, 08 Agustus 2018

"10 DO'A ORANG TUA UNTUK PUTRA-PUTRINYA"



1. Doa Nabi Zakaria*

رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ

(Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a’)

“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa" (Qs.al-Furqon : 38)

2. Doa Nabi Ibrahim*

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ

(Robbij’alniy muqimash sholati wa min dzurriyyati robbana wa taqobbal du’a’)

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku" (Qs.Ibrahim : 40)

3. Doa Agar Anak Beriman Dan Bertakwa*

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا

(Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun waj ‘alna lil muttaqiina imama)

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa" (Qs.al-Furqon : 74)

4. Doa Agar Anak Menjadi Sholeh Dan Sholehah*

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ أَوْلَادَنَا أَوْلَادًا صَالِحِيْنَ حَافِظِيْنَ لِلْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ فُقَهَاءَ فِى الدِّيْنِ مُبَارَكًا حَيَاتُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

(Allahummaj ‘al awladana awladan sholihiin haafizhiina lil qur’ani wa sunnati fuqoha fid diin mubarokan hayatuhum fid dun-ya wal akhirah)

“Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang sholih sholihah, orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan Sunnah, orang-orang yang faham dalam agama dibarokahi kehidupan mereka didunia dan di akhirat”

5. Doa Agar Anak Berbakti Kepada Orang Tua*

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَوْلَادِي وَلَا تَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْهُمْ لِطَاعَتِكَ وَارْزُقْنِي بِرَّهُمْ

(Allahumma barikliy fii awladiy, wa la tadhurruhum, wa waf fiqhum li tho’atik, war zuqniy birrohum)

“Ya Allah berilah barokah untuk hamba pada anak-anak hamba, janganlah Engkau timpakan mara bahaya kepada mereka, berilah mereka taufik untuk taat kepadaMu dan karuniakanlah hamba rejeki berupa bakti mereka”.

6. Doa Agar Anak Menjadi Pintar*

اَللَّهُمَّ امْلَأْ قُلُوْبَ أَوْلَادِنَا نُوْرًا وَحِكْمَةً وَأَهْلِهِمْ لِقَبُوْلِ نِعْمَةٍ وَاَصْلِحْهُمْ وَاَصْلِحْ بِهِمُ الْأُمَّةَ

(Allaahummam-la’ quluuba aulaadinaa nuuron wa hik-matan wa ahlihim liqobuuli ni’matin wa ashlih-hum wa ashlih bihimul ummah)

“Ya Allah, penuhilah hati anak-anak kami dengan cahaya dan hikmah, dan jadikan mereka hamba-hamba-Mu yang pantas menerima nikmat, dan perbaikilah diri mereka dan perbaiki pula umat ini melalui mereka.”

7. Doa Agar Anak Memiliki Pemahaman Agama Yang Benar*

اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

(Allahumma faqqih hu fid diini wa ‘allimhut ta’wiila)

“Ya Allah, berikanlah kefahaman baginya dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia ta’wil (tafsir ayat-ayat al-Qur’an)" (HR.Bukhari)

8. Doa Agar Anak Sehat, Cerdas Dan Bermanfaat Ilmunya*

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلاً وَعَاقِلًا حَاذِقًا وَعَالِمًا عَامِلًا

(Allahummaj’alhu shohiihan kaamilan, wa ‘aqilan haadziqon, wa ‘aaliman ‘amilan)

“Ya Allah, jadikanlah ia anak yang sehat sempurna, berakal cerdas, dan berilmu lagi beramal"

9. Doa Agar Anak Diberikan Perlindungan Oleh Allah Swt*

أُعِيْذُهُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

(U’iidzu hu bikalimaatillahit taammati min kulli syaithoniw wahaammatiw wamin kulli ‘ainil laammah)

“Aku memohon perlindungan baginya (sebut nama anak) dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari semua godaan setan dan binatang pengganggu serta dari pandangan mata buruk". (HR. Abu Daud 3371, dan dishahihkan al-Albani, diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Tirmidzi)
*Doa ini adalah doa yang pernah Rosulullah gunakan untuk mendoakan cucunya Hasan dan Husein

10. Doa Agar Anak Mendapat Keberkahan*

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا فِي أَئِمَّتِنَا وَجَمَاعَتِنَا وَأَهْلِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَأَمْوَالِنَا وَفِيمَا رَزَقْتَنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيهِمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

(Allahumma ashlih lana fi aimmatina wa jamaa’atina wa ahlina wadzurriyyatina wa amwaalina wafiimaa razaqtana wa baariklana fiihim fid dunya wal aakhiroh)

“Ya Alloh perbaikilah untuk kami di dalam imam-imam kami, jama’ah kami, keluarga kami, istri-istri kami, anak-anak turun kami, harta-harta kami dan di dalam apa-apa (rizqi) yang engkau berikan kepada kami dan berilah kami kebarokahan dalam urusan mereka di dunia dan akhirat.

Semoga kita semuanya dikaruniakan oleh ALLOH keturunan keturunan yang sholeh sholehah yang membahagiakan kedua orang tua baik di saat hidup maupun sesudah wafat nya.

Aamiin yaa robbal 'alamiin !!!

Wallohu 'alam bishowwab !

Kamis, 12 Juli 2018

DOA YANG PATUT DIHAFAL

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

DOA YANG PATUT DIHAFAL
Supaya persaudaraan kaum muslimin terus terjaga, dijauhkan dari fawahisyah (zina dan maksiat), diberkahi dalam diri dan keluarga, serta menjadi hamba yang bertaubat dan bersyukur.
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ مُثْنِينَ بِهَا قَابِلِيهَا وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا
ALLAHUMMA ALLIF BAYNA QULUUBINAA, WA ASHLIH DZAATA BAYNINAA, WAHDINAA SUBULAS SALAAM, WA NAJJINAA MINAZH ZHULUMAATI ILANNUUR. WA JANNIBNAAL FAWAHISYA MAA ZHOHARA MINHA WA MAA BATHON. WA BAARIK LANAA FII ASMAA’INAA WA AB-SHOORINAA WA QULUUBINAA WA AZWAAJINAA WA DZURRIYATINAA. WA TUB ‘ALAYNAA INNAKA ANTAT TAWWABUR RAHIIM. WAJ’ALNAA SYAKIRIINA LI NI’MATIKA MUTSNIINA BIHAA QOOBILIIHA WA ATIMMAHA ‘ALAINAA.
“Ya Allah, satukanlah hati kami. Perbaikilah keadaan kami. Tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan (menuju surga). Selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya. Jauhkanlah kami dari perbuatan keji yang nampak maupun tersembunyi. Berkahilah pendengaran, penglihatan, hati, istri, dan keturunan kami. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami hamba yang bersyukur atas nikmat-Mu, terus memuji-Mu dan menerima nikmat tersebut, dan sempurnakanlah nikmat tersebut pada kami.”
(HR. Abu Daud, no. 969, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Qadha’ wa Al-Qadr dari hadits Abu Daud, asalnya dikeluarkan oleh Tirmidzi. Kesimpulannya, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illa Allah, wallahu akbar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh.

Rabu, 11 Juli 2018

al-Quran sebagai petunjuk, cahaya, dan obat bagi yang ada di dalam hati

Syekh Shalih Al-Fauzan, “Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan al-Quran sebagai petunjuk, cahaya, dan obat bagi yang ada di dalam hati. Dia juga menurunkannya untuk dibaca, di- tadabburi (dipahami maknanya), diamalkan, dan mencari cahaya dengan petunjuknya dan menjadikannya Imam dan pemimpin menuju Allah dan surga-Nya.

Al-Quran adalah hujjah Allah bagi hamba-, Nya rupa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ,' Al-Quran adalah hujjah (pembela) bagimu atau penghujatmu. 'Jika kamu berpegang teguh dan mengamalkannya maka jadilah dia pembelamu yaitu membidikimu ke surga. Namun, jika Anda berpaling darinya maka ia akan menghujatmu yaitu cerminmu ke neraka.

Dengan menulisnya dalam pajangan atau menggantungkannya di dinding, maka hal ini tidak dapat digunakan sebab akan menghina al-Quran, karena mungkin saja tempat digantungkannya itu ada sesuatu yang maksiat atau fasik. Bisa jadi, pajangan tsb diinjak dan dirusak oleh penghuni rumah yang tidak mengindahkan al-Quran. Kadang-kadang ditulis dalam bentuk ukiran dengan maksud hanya sebagai gambaran saja.

Intinya, al-Quran wajib dijaga dari hal-hal yang sia-sia ini dan kotoran para salaf melakukannya. al-Quran bukan untuk ditulis di tingkat untuk ditulis di hati dan nampak pengaruhnya dalam amalan-amalan dan gerak-gerik keseharian. ”( Al-Muntaqa : 2/77)

Menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tandingan dan selevel dengan Allah

Assalamu'alaikum, Menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tandingan dan selevel dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya seseorang melihat tulisan ini sedangkan ia tidak tahu tentang siapa keduanya (Allah dan Muhammad), maka ia yakin seyakin-yakinnya bahwa keduanya setara dan serupa. Dengan demikian, wajib menghilangkan nama Rasulullah.

Kata  ALLAH diucapkan oleh orang sufi dan menjadikannya secara zikir, yaitu mereka mengatakan اَللهُ ، اَللهُ ، اَللهُ maka termasuk juga dilepas (dari dinding). Janganlah menulis tulisan di atas atau di tempat lain. ”( Fatawa Arkanil Islam oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hlm. 192)

Selasa, 10 Juli 2018

DAHSYATNYA DO'A DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD



▪ Robighfirlii 
▪ Warhamnii 
▪ Wajburnii 
▪ Warfa’nii 
▪ Warzuqnii
▪ Wahdini
▪ Wa’aafinii
▪ Wa’fuannii

Ketika  orang ditanya : “Do’a apakah yang  paling  sering  dibaca oleh se-orang muslim ?”

Banyak  yang  menjawabnya dengan salah. Begitu seringnya do’a itu diba-ca,  hingga ketika sedang membaca do’a,  banyak yang tak merasa kalau sedang berdo’a.

Padahal  do’a itu sangatlah dahsyat, mencakup  kebutuhan  kita di dunia dan akhirat. Dan dibaca minimal 17 kali setiap hari.

Do’a itu, ialah do’a diantara dua sujud, marilah kita renungi maknanya :

▪ Robbighfirlii
Wahai Tuhan ampunilah dosaku, dosa adalah beban, yang menyebabkan kita berat melangkah menuju ke ridha اللّهُ. Dosa  adalah  kotoran hati yang mem-buat  hati  kelam,  sehingga  hati kita merasa  berat skali untuk melakukan kebaikan.

▪ Warhamnii 
Sayangilah diriku, kalau kita disayang اللّهُ hidup akan terasa nyaman, karena dengan kasih sayang-Nya akan dapat dicapai semua cita-cita. Dengan kasih sayang اللّهُ nafsu kita akan terbimbing.

▪ Wajburnii 
Tutup lah  segala  kekuranganku, ba-nyak sekali kekurangan kita, kurang syukur,  kurang  sabar,  kurang  bisa menerima kenyataan, mudah marah, pendendam  dan  lainnya. Kalau ke-kurangan kita ditutup/diperbaiki اللّهُ, maka  kita  akan  menjadi  manusia sebenarnya.

▪ Warfa’nii
Tinggikanlah derajatku, kalau اللّهُ su-dah  meninggikan derajat kita, maka pasti  tidak  ada  manusia  yang bisa menghinakan kita.

▪ Warzuqnii
Berikanlah  aku  rizki, sebagai hamba اللّهُ kita  membutuhkan rizki, اللّهُ mam-pu mendatangkan rizki dari arah yang tak terduga dan tanpa perhitungan.

▪ Wahdini
Berikanlah  aku petunjuk/bimbinglah aku  ke jalan kebahagiaan. Kita tidak hanya  minta petunjuk/hidayah yang berkaitan dengan agama. Tetapi kita juga  minta  petunjuk  agar terhindar dari  mengambil  keputusan  yang di anggap salah.

▪ Wa’aafinii
Berikan lah  aku  kesehatan,  apabila kita sehat, kita bisa menambah keba-ikan  dan  manfaat serta tak menjadi beban orang lain.

▪ Wa’fuannii
Aku mohon agar kesalahanku dihapus dari catatan.

Dari do'a tersebut diawali do’a dengan mohon  ampun dan kita akhiri dengan permohonan ampunan untuk mengha-pus  dosa,  sehingga  kita benar-benar bersih.

Allah SWT memerintahkan kita untuk membaca  do’a  itu,  Rasulullah  SAW mencontohkan  kepada kita, menurut logika do’a t'rsebut pasti terkabul dan diijabah oleh Allah SWT.

                       Aamiin YRA

Terkadang  yang menjadi persoalan, dimana  hati dan pikiran kita, ketika kita membaca do’a itu dan kita tidak hafal arti serta maknanya ?

Padahal  do'a tersebut dahsyat, dan masih banyak orang sering tergesa gesa  yang  se-harusnya  tuma'nina dengan  meresapi  dan benar-benar meminta kepada Allah SWT.

Apabila  dipandang  bermanfaat dan anda  berkenan,  silah  kan  di  share kepada Saudara, sahabat dan handai taulan untuk  semakin menambah wawasan dan pengetahuan.

             "SEMOGA BERMANFAAT"

Rabu, 04 Juli 2018

Imam Shalat ditempat yang Lebih Tinggi?

Posisi imam yang berada di tempat yang lebih tinggi dari makmum telah dilarang oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini terdapat beberapa hadits Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:

Dari Hammam bahwasanya sahabat Hudzaifah radhiallahu ‘anhuma mengimami orang-orang di kota Mada’in di atas tempat yang lebih tinggi. Sahabat Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu lalu memegang bajunya dan menariknya. Ketika selesai dari shalatnya Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidakkah kamu tahu bahwa mereka melarang dari perbuatan itu?” Hudzaifah menjawab, “Ya, aku baru ingat ketika engkau menarikku.” (Sahih, HR. Abu Dawud 1/163 no. 597 dan disahihkan oleh al-Albani)

Dari Adi bin Tsabit al-Anshari, seseorang telah memberitahukan kepadaku bahwa ia bersama ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu di kota Mada’in. Kemudian dikumandangkan iqamat. Lalu ‘Ammar maju dan berdiri di atas tempat yang lebih tinggi melakukan shalat, sementara orang-orang di bawah. Hudzaifah radhiallahu ‘anhu pun maju lalu menarik dua tangannya hingga ‘Ammar mengikutinya sampai Hudzaifah menurunkannya. Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya Hudzaifah berkata, “Tidakkah kamu mendengar Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bilamana seseorang mengimami sebuah kaum, janganlah ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat mereka atau semakna dengan itu.’ Ammar pun berkata, ‘Karena itulah saya menuruti engkau ketika kamu memegang tanganku’.” (Hasan, HR. Abu Dawud, 1/163 no. 598, dihasankan oleh al-Albani dengan dukungan riwayat sebelumnya secara global)

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah melarang imam untuk berdiri di atas sesuatu sementara orang-orang di belakangnya lebih rendah darinya.” (Hasan, HR. ad-Daruquthni, dihasankan oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah no. 281)

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, seorang imam tidak diperbolehkan berada pada tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Inilah yang kemudian dipegangi oleh beberapa ulama, di antaranya sahabat Ibnu Mas’ud, an-Nakha’i, ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, al-Auza’i, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab1 dalam kitab Fathul Bari.

Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm (hlm. 310, cet. Qutaibah). Beliau rahimahullah berkata, “Kalau imam pernah mengajari orang shalat (yakni dengan berdiri di tempat yang tinggi) satu kali, saya menyukai baginya (setelah itu) untuk shalat sejajar dengan makmum. Hal ini karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat di atas mimbarnya2, melainkan hanya satu kali. Tempat beliau selain waktu itu adalah di atas tanah bersama para makmum. Oleh karena itu, yang dipilih adalah imam sejajar dengan makmum. Seandainya lebih tinggi atau lebih rendah, shalatnya dan shalat mereka tidak rusak (tetap sah).”

Adapun kadar ketinggian yang dimaksud adalah, “Setiap tempat yang sah untuk dikatakan—menurut bahasa dan kebiasaan—bahwa yang demikian lebih tinggi dari tempat makmum maka itu terlarang.” Demikian penjelasan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab ats-Tsamarul Mustathab.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ukuran yang terlarang adalah jika melebihi tinggi postur tubuh menusia. Jika kurang dari itu diperbolehkan. Kembali asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa perincian yang semacam itu tidak ada dalilnya dalam hadits. Itu hanya sekadar pendapat akal. Oleh karena itu, asy-Syaukani rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan pendapat-pendapat ulama dalam hal perbedaan kadar tinggi tersebut bahwa kesimpulan dari dalil-dalil tersebut adalah dilarangnya imam lebih tinggi dari makmum tanpa adanya perbedaan antara di masjid dan di tempat lain, tanpa perbedaan antara setinggi postur tubuh manusia, kurang atau lebih dari itu.

Sebagian ulama belakangan berfatwa bahwa jika lebih tinggi sedikit diperbolehkan, sebagaimana pendapat mazhab Hanbali dan Maliki. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Liqa Bab Maftuh dan Fiqh Islami wa Adillatuhu)

Namun, fatwa dan pendapat ini juga lemah jika kita menengok keterangan di atas.
Bilamana bersama imam pada tempat yang tinggi tersebut ada sebagian shaf makmum, hal ini diperbolehkan karena imam saat itu tidak menyendiri di tempat tersebut. Ini semakna dengan yang disebutkan dalam kitab al-Inshaf karya al-Mirdawi rahimahullah dan kemudian difatwakan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Ibnu Utsaimin rahimahullah. (al-Imamah fish Shalah, al-Qahthani, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, dan Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin)

Hukum di atas berlaku bilamana tidak ada maslahat dan kepentingan saat imam berposisi lebih tinggi dari makmum. Adapun jika ada maslahat untuk mengajari orang shalat dengan praktik langsung, hal ini diperbolehkan. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah shalat di atas mimbar sebagaimana dalam hadits berikut.

“Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus (seseorang) kepada Fulanah—seorang wanita yang telah disebut namanya oleh Sahl (bin Sa’d) radhiallahu ‘anhu—, “Perintahlah budakmu yang tukang kayu untuk membuatkan bangunan kayu untuk aku duduk di atasnya ketika aku berceramah di hadapan manusia.” Kemudian wanita itu memerintahkannya sehingga ia membuatnya dari tharfa’ (sejenis pohon cemara) di daerah al-Ghabah lalu dia bawa. Wanita itu mengutus seseorang untuk membawanya kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar mimbar tersebut diletakkan di sini. Setelah itu, aku melihat beliau shalat di atas mimbar tersebut. Beliau bertakbir di atasnya, kemudian ruku’ di atasnya, kemudian turun mundur lalu sujud di dasar mimbar. Setelah itu beliau kembali lagi. Setelah selesai, beliau menghadap kepada manusia lalu berkata, “Wahai manusia, aku melakukan hal ini hanya agar kalian mengikuti aku dan kalian mempelajari shalatku.” (Shahih, Muttafaqun ‘alaihi dari sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Jika seseorang menjadi imam lalu dia shalat sebagai imam orang-orang yang baru masuk Islam sehingga ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum untuk mengajari mereka hukum-hukum shalat yang langsung dilihat mata, hal itu diperbolehkan sesuai dengan hadits sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu. Tetapi, kalau alasan ini tidak ada, janganlah ia shalat di tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum, sesuai dengan hadits dari sahabat Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Dengan demikian, kedua hadits itu tidak bertentangan dan saling membantah. (Shahih Ibnu Hibban)

Pendapat lain dalam masalah ini adalah membolehkan imam lebih tinggi dari makmum secara mutlak. Ini adalah salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, Ibnu Hazm, dan ad-Darimi (Shahih al-Bukhari, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, dan ats-Tsamarul Mustathab).

Ibnu Rajab rahimahullah berkomentar, “Pendapat ini sangat aneh dari al-Imam Ahmad. Tidak dikenal pendapat ini dari beliau selain melalui jalur ini, dan Ibnu Hazm rahimahullah bersandar padanya. Mereka menukilkan dari Ahmad bolehnya seorang imam di tempat yang lebih tinggi dari makmum. Hal ini bertentangan dengan mazhab beliau yang sudah tersebar (dalam hal ini), yang telah dinukil oleh para pengikut mazhab beliau di kitab-kitab mereka, serta disebutkan oleh al-Khiraqi dan yang setelahnya. Demikian juga, Hanbal dan Ya’qub bin Bakhtan menukilkan dari Ahmad bahwa beliau berkata, ‘Janganlah tempat imam lebih tinggi dari tempat orang yang di belakangnya. Akan tetapi, tidak mengapa yang di belakangnya lebih tinggi’.” (Fathul Bari)

Dalam kitab bermazhab Hanbali pula, al-Inshaf, disebutkan bahwa yang benar dalam mazhab Hanbali adalah tidak boleh.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan tentang pendalilan mereka dengan hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu tentang shalat Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar untuk mendasari pendapat mereka, “Hal ini adalah pendalilan yang aneh dari para imam tersebut. Keherananku hampir-hampir tidak habis. Bagaimana bisa mereka berdalil untuk membolehkan hal itu secara mutlak, padahal perbuatan beliau itu (jelas-jelas) terkait dengan pengajaran, sebagaimana ucapan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.” (ats-Tsamarul Mustathab)

Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah pun sebelumnya telah membantah pendapat tersebut, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.

Tempat Makmum Boleh Lebih Tinggi dari Imam

Secara ringkas tempat makmum boleh lebih tinggi dari imam. Hal itu pernah dilakukan oleh Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma.

“Abu Hurairah shalat di lantai atas masjid dengan shalatnya imam (mengikuti imam).” (Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’ radhiallahu ‘anhu di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi postur tubuh manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas radhiallahu ‘anhu mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Riwayat Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam kitab al-Muntaqa, dan al-Imam Ahmad berdalil dengannya sebagaimana kata Ibnu Rajab dalam Fathul Bari)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Shalat pada tempat yang dibangun di atas tanah semacam sebuah ruangan di masjid atau di atas loteng masjid, semuanya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini tanpa ada perbedaan, kecuali pada beberapa permasalahan yang diperselisihkan.” (Fathul Bari)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Adapun tinggi (tempat) makmum jika berlebihan yang lebih dari 300 hasta sehingga makmum tidak mungkin mengetahui gerakan imam, hal itu dilarang menurut kesepakatan ulama, tanpa ada perbedaan antara masjid dan yang lain. Adapun kurang dari ukuran tersebut, pada asalnya boleh, sampai adanya dalil yang melarang. Hal yang mendukung hukum asal ini adalah perbuatan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tersebut dan tidak ada yang mengingkarinya.”

Namun, apakah kebolehan ini secara mutlak atau saat keadaan menuntut demikian dengan tetap memerhatikan aturan-aturan shaf/barisan shalat?

Di sini terjadi perbedaan pendapat. Yang kuat/rajih dari dua pendapat yang ada adalah yang kedua.

Al-Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Seseorang shalat di atas loteng bermakmum dengan imam?”

Beliau menjawab, “Jika antara dia dengan imamnya ada jalan atau sungai, tidak boleh.”
Beliau ditanya lagi, “Anas (bin Malik) shalat Jum’at di loteng.”

Beliau menjawab, “Pada hari Jum’at tidak ada jalan orang-orang.”
Beliau memaksudkan bahwa pada hari Jumat jalan-jalan penuh dengan orang-orang sehingga shaf-shaf bersambung. Demikian penjelasan Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Atsar-atsar yang lain dari Umar, asy-Sya’bi, dan Ibrahim an-Nakha’i dalam kitab Ibnu Abi Syaibah (2/223) dan Abdurrazzaq (3/81—82), menyebutkan hal itu tidak boleh jika antara dia dengan imam ada jalan dan yang semacamnya.

Bisa jadi, apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat yang pertama (semacam perbuatan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) dipahami bahwa itu saat ada uzur/alasan, seperti penuhnya masjid, sebagaimana ucapan Hisyam bin Urwah, “Suatu saat aku bersama ayahku datang (ke masjid). Ternyata kami dapati masjid telah penuh. Kami pun tetap shalat bersama imam di sebuah rumah di sisi masjid, dan antara keduanya ada jalan (Riwayat Abdurrazzaq, 3/82 dengan sanad yang sahih dari beliau).” (Tamamul Minnah)

Beliau juga mengatakan bahwa jika makmum shalat di tempat yang tinggi, ada kemungkinan karena keadaan darurat seperti tempat yang sempit dan selainnya, atau tidak ada darurat. Jika kemungkinan yang pertama, tidak ada pembicaraan karena hal darurat menyebabkan bolehnya sesuatu yang terlarang. Tetapi kalau tidak, mengakibatkan terputusnya shaf/barisan dan menyendiri dari barisan yang ada, sebagaimana yang dilakukan banyak muadzin atau yang lain, juga orang yang shalat di halaman padahal di depan mereka masih kosong dan cukup untuk banyak shaf, hal yang semacam ini tidak boleh. (ats-Tsamarul Mustathab)

Pendapat lain dalam hal ini adalah boleh secara mutlak tanpa perincian di atas. Ini adalah riwayat lain dari pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah (Fathul Bari karya Ibnu Rajab), tetapi pendapat ini lemah. Wallahu a’lam.

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi

Senin, 02 Juli 2018

HUKUM POSISI IMAM LEBIH TINGGI DARI MAKMUM DAN SEBALIKNYA


Mengenai masalah ini di
kalangan para ulama memang terjadi perbedaan pendapat, diantaranya ada tiga pendapat fuqaha mengenai masalah ini,
sebagaimana saya temukan di dalam kitab Bidayatul Mujtahid fikih Maliki. 

Ibnu rusyd berkata:

وأما موضع الامام ، فإن قوما أجازوا أن يكون أرفع من موضع المأمومين، وقوم منعوا ذلك، وقوم استحبوا من ذلك اليسير، وهو مذهب مالك. (بداية المجتهد ونهاية المقتصد  - ابن رشد الحفيد - فقه مالكي: 1/120)

Adapun Tempat imam, maka sesungguhya
sekelompok orang (fuqaha) mereka membolehkan Imam berada di tempat yang lebih
tinggi dari pada tempat makmum. Sekelompok orang (fuqaha) lainnya mereka
melarang hal itu. dan sekelompok orang (fuqaha) lainnya lagi menyukai hal itu (agar tempat imam lebih tinggi) sedikit (dibanding makmum),
dan ini adalah madzhab Maliki. [Bidayatul Mujtahid : 1/120].

Sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
masalah ini karena ada dua hadits Nabi SAW., yang terlihat seolah-olah
bertentangan, padahal sesungguhnya kalau dikaji dengan benar dan teliti kedua hadits
itu tidak saling bertentangan dan tidak saling membantah. Maka oleh karena itu
marilah kita kaji persoalan ini lebih jauh:

 A.   
TEMPAT IMAM TIDAK BOLEH
LEBIH TINGGI DARI MAKMUM

1.  Hadits
sahabat Hammam :

عَنْ هَمَّامٍ : أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ ، فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَعَنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتنِي . (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد) .

Dari Hammam : Bahwa sesungguhnya
Huzaifah mengimami manusia di Kota Mada-in (kota di Baghdad) di atas
toko/tempat duduk panjang yang tinggi. Maka Abu Mas’ud mengambil baju gamisnya
dan menariknya. Maka ketika selesai dari shalatnya, Abu Mas’ud berkata :
“Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya mereka melarang dari perbuatan
itu? Hudzaifah menjawab, “Ya, benar !. aku baru ingat ketika engkau
menarikku gamishku (HR. Abu Daud, “hadits shahih”)

2.  Hadits
sahabat ‘Ady bin Tsabit al-Anshary :

عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ : حَدَّثَنِي رَجُلٌ أَنَّهُ كَانَ مَعَ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ بِالْمَدَائِنِ فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَتَقَدَّمَ عَمَّارٌ وَقَامَ عَلَى دُكَّانٍ يُصَلِّي وَالنَّاسُ أَسْفَلَ مِنْهُ فَتَقَدَّمَ حُذَيْفَةُ فَأَخَذَ عَلَى يَدَيْهِ فَاتَّبَعَهُ عَمَّارٌ حَتَّى أَنْزَلَهُ حُذَيْفَةُ ، فَلَمَّا فَرَغَ عَمَّارٌ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ : أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ؟ قَالَ عَمَّارٌ : لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد )

Dari Adi bin Tsabit al-Anshari, seseorang
telah menceritakan kepadaku bahwa ia bersama ‘Ammar bin Yasir di kota Mada’in.
Kemudian dikumandangkan iqamat. Lalu ‘Ammar maju dan berdiri di atas tempat
yang lebih tinggi melakukan shalat, sementara orang-orang di bawah. Hudzaifah
pun maju lalu menarik dua tangannya hingga ‘Ammar mengikutinya sampai Hudzaifah
menurunkannya. Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya Hudzaifah berkata,
“Tidakkah kamu mendengar Rasulullah SAW bersabda : ‘Apabila seseorang mengimami
suatu kaum, maka janganlah ia berdiri pada tempat yang lebih tinggi dari tempat
mereka atau semakna dengan itu.’ Ammar pun berkata, ‘Karena itulah saya
menuruti engkau ketika kamu memegang tanganku’.” (HR. Abu Dawud)

3.  Hadits
sahabat Abu Mas’ud Al-Anshariy al-Anshary :

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِي قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلمأَنْ يَقُوْمَ اْلإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ ، يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ. (المستدرك على الصحيحين 1:329، سنن البيهقي الكبرى : 3:108، سنن الدارقطنى 2/88)

Dari Abu Mas’ud Al-Anshariy, berkata:
Rasulullah saw melarang seorang imam berdiri di atas sesuatu sedangkan orang-orang
di belakangnya (makmum) lebih rendah darinya. (Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain 1:329
no.761, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra 3:108 no.5014, Sunan ad-Daraquthniy 2:88
no.1)

Ketiga hadits diatas menjadi dalil tentang
dibencinya meninggikan tempat duduk Imam ketika shalat berjamaah.

Imam As-Syaukani dalam kitab Nailul Authar
berkesimpulan :

( وَالْحَاصِل ) مِنْ الْأَدِلَّة مَنْع ارْتِفَاع الْإِمَام عَلَى الْمُؤْتَمِّينَ مِنْ غَيْر فَرْق بَيْن الْمَسْجِد وَغَيْره وَبَيْن الْقَامَة وَدُونهَا وَفَوْقهَا ، لِقَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ : إنَّهُمْ كَانُوا يُنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ . وَقَوْل ابْنِ مَسْعُودٍ : " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " الْحَدِيث .

Al-Hasil/kesimpulnnya ; dari dalil-dalil
tersebut adalah dilarangnya imam berada di tempat yang lebih tinggi dari pada
makmum, tanpa ada perbedaan, baik itu di masjid ataupun di tempat lainnya, yang
sejajar dengan tinggi badan, di bawahnya atau di atasnya. Berdasarkan perkataan
Abu Mas’ud : “sesungguhnya mereka melarang dari perbuatan itu?. dan
perkataan Ibnu Mas’ud : Rasulullah saw melarang. Bacalah
kembali haditsnya. [Nailul Authar 3, hal. 236].

Sayyid sabiq dalam kitab fiqih sunnah
berkomentar:

يُكْرَهُ أَنْ يَقِفَ الإِمَامُ أَعْلَى مِنَ الْمَأْمُوْمِ : فَعَنْ أََبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِي قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ يَقُوْمَ اْلإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ، (رواه الدَّارَقطْنِي وسكت عنه الحافظُ في التّلخيص). وعَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ؟ قَالَ : بَلَى ، قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتَنِي. (روه أبو داود والشافعي والبيهقى وصححه الحاكم وابنخزيمة وابن حبان).

Seorang imam dimakruhkan (dibenci) berdiri di
tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mas’ud
Al-Anshari ia berkata: “Rasulullah SAW melarang seorang imam itu berdiri di
atas sesuatu, sedangkan makmum berada di bawahnya atau lebih rendah darinya”
(HR. Daruquthni, tetapi tidak disebutkan oleh Al-Hafidz dalam kitab
At-Talkhis).  Dan
dari Hammam bin Harits, ”Sesungguhnya Hudzaifah mengimami orang-orang di
Madain di atas dukan (tempat yang tinggi) Lalu Abu Mas’ud memegang gamisnya dan
menariknya, ketika setelah selesai salat ia berkata: Tidakkah kamu tahu bahwa
sesungguhnya mereka (para sahabat) melarang dari hal itu?. Dia menjawab: tentu
saja saya tahu, sungguh saya ingat ketika kamu menarikku”. (HR Abu Daud,
Syafi’i, Baihaqi, dan disahkan oleh Hakim, Imam Khuzaimah, dan Ibnu Hibban) [Fiqih
Sunnah 1, hal. 146].

 B.   
TEMPAT IMAM BOLEH LEBIH
TINGGI DARI MAKMUM JIKA DENGAN MAKSUD TA’LIM (MEMBERIKAN PENGAJARAN)

Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW memang
pernah berdiri lebih tinggi daripada makmum ketika shalat berjamaahnya, akan
tetapi Rasulullah SAW melakukan hal itu tujuannya hanya untuk mengajarkan
kepada orang-orang bagaimana cara shalat Rasulullah SAW. dan hal ini hanya
dilakukan satu kali oleh Nabi SAW. Tempat shalat beliau waktu itu selain di
atas mimbar juga di atas tanah sejajar bersama para makmum, jadi beliau tidak
melakukan semua kaifiyat shalatnya di atas mimbar, akan tetapi beliau shalatnya
naik turun, yaitu takbir dan ruku di atas mimbar lalu untuk sujud dan duduk
dilakukan di bawah mimbar (turun du ke tanah).

Hal tersebut dapat dibaca antara lain dalam
hadits Bukhari dan Muslim yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitab
Nailul Authar juz : 3 halaman : 235.

وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَلَسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ فِى أَوَّلِ يَوْمٍ وُضِعَ فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ اْلقَهْقَرِى فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ مَعَهُ ، ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : " أَيُّهَاالنَّاسُ إِنَّمَا فَعَلْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِيْ وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي ". (متفق عليه _
نيل الأوطار : 3 /236)

Dari Sahl bin Sa’ad: Bahwasannya Nabi saw
pernah duduk diatas mimbar pada awal hari diletakkannya, kemudian beliau
bertakbir (shalat) dalam posisi di atas mimbar lalu ruku’ dalam posisi masih di
atas mimbar. Kemudian Beliau turun dengan mundur ke belakang, lalu sujud di
dasar mimbar, kemudian Beliau mengulangi lagi (hingga shalat selesai). Setelah
selesai, beliau menghadap kepada orang banyak lalu bersabda: “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya aku berbuat seperti ini agar kalian mengikuti dan agar
kalian dapat mengambil pelajaran tentang tata cara shalatku (mengajarkan kalian
cara Shalatku ini).” (Mutafaq ‘alaih _ Nailul-Authar:3/236)

Redaksi Hadits Riwayat Al-Bukhari :

حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمِ بْنُ دِينَارٍ : أَنَّ رِجَالًا أَتَوْا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ السَّاعِدِيَّ ، وَقَدْ امْتَرَوْا ، فِي الْمِنْبَرِ مِمَّ عُودُهُ ؟ فَسَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ : وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْرِفُ مِمَّا هُوَ ، وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ . وَأَوَّلَ يَوْمٍ جَلَسَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فُلَانَةَ - امْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ سَمَّاهَا سَهْلٌ – "مُرِي غُلَامَكِالنَّجَّارَ أَنْ يَعْمَلَ لِي أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ إِذَا كَلَّمْتُ النَّاسَ"- فَأَمَرَتْهُ فَعَمِلَهَا مِنْ طَرْفَاءِ الْغَابَةِ ، ثُمَّ جَاءَ بِهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَوُضِعَتْ هَا هُنَا . ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهَا ، وَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهَا ، ثُمَّ رَكَعَ وَهُوَ عَلَيْهَا ، ثُمَّ نَزَلَ الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ، ثُمَّ عَادَ . فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ : " أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا ، وَلِتَعَلَّمُواصَلَاتِي ". (رواه البخاري)

Abu Hazim bin Dinar telah menceritakan : “Bahwa
beberapa orang mendatangi Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, setelah sebelumnya mereka
berdebat tentang mimbar, dari kayu apa ia dibuat?. Mereka datang menanyakan
kepadanya tentang hal itu. Sahl bin Sa’ad berkata,”Demi Allah, aku tahu benar
dari kayu apa ia dibuat. Dan aku melihat pertama kali ia diletakkan dan pertama
kali Rasulullah SAW., duduk diatasnya. Rasulullah SAW.,  mengutus seseorang kepada seorang wanita
-dari kalangan Anshar yang telah disebutkan namanya oleh Sahl bin Sa’ad- :
“Suruhlah budakmu yang tukang kayu untuk membuatkan bangunan kayu untukku agar
aku duduk diatasnya ketika berbicara kepada orang-orang”. Lalu wanita itu
menyuruh budaknya. Budak itu pun membuatnya dari kayu thorfa (sejenis pohon
cemara) dari Ghabah (pinggiran Madinah), lalu ia membawanya. Kemudian wanita
itu mengirimnya (mimbar tesebut) kepada Rasulullah SAW. Dan Rasulullah SAW.
menyuruh meletakkannya disini. Setelah itu aku melihat Rasulullah SAW sholat
diatasnya; beliau bertakbir dan ruku’ diatasnya. Lalu beliau turun mundur dan
sujud didasar mimbar (diatas tanah), kemudian beliau kembali lagi. Setelah
selesai beliau SAW menghadap jama’ahnya seraya berkata,” Wahai sekalian
manusia, aku berbuat seperti ini agar kalian dapat mengikuti dan mengetahui (cara)
sholatku”. (HR Bukhari).

Redaksi Hadits Riwayat Al-Bukhari berikut
pernyataan ‘Ali bin Abdullah:

أَبُو حَازِمٍ قَالَ : سَأَلُوا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ الْمِنْبَرُ ؟ فَقَالَ : مَا بَقِيَ بِالنَّاسِ أَعْلَمُ مِنِّي ، هُوَ مِنْ أَثْلِ الْغَابَةِ ، عَمِلَهُ فُلَانٌ مَوْلَى فُلَانَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ عُمِلَ وَوُضِعَ ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ ، كَبَّرَ وَقَامَ النَّاسُ خَلْفَهُ ، فَقَرَأَ وَرَكَعَ وَرَكَعَ النَّاسُ خَلْفَهُ ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ، ثُمَّ رَجَعَ الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ عَلَى الْأَرْضِ ، ثُمَّ عَادَ إِلَى الْمِنْبَرِ ، ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ رَجَعَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ بِالْأَرْضِ . فَهَذَا شَأْنُهُ .

قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ : قَالَ عَلِيُّ بْنُ
عَبْدِ اللهِ :
سَأَلَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ ، قَالَ
: فَإِنَّمَا أَرَدْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَعْلَى
مِنْ النَّاسِ ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ أَعْلَى مِنْ النَّاسِ بِهَذَا
الْحَدِيثِ . قَالَ : فَقُلْتُ : إِنَّ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ كَانَ يُسْأَلُ عَنْ
هَذَا كَثِيرًا فَلَمْ تَسْمَعْهُ مِنْهُ ؟ قَالَ : لَا . ( البخاري
_ فتح الباري :2/331 )

Abu Hazm berkata : Orang-orang bertanya
kepada Sahal bin Sa'd dari apakah mimbar itu?" Ia berkata: "Tidak ada
orang yang lebih mengetahui daripadaku. Mimbar itu dari pohon di hutan yang
dibuat oleh Fulan budak Fulanah milik Rasullullah SAW. Rasullullah SAW berdiri
diatasnya ketika mimbar itu dibuat dan diletakkan. Lalu beliau menghadap kiblat
dan takbir. Orang-orang berdiri di belakang beliau. Beliau membaca dan ruku'.
Maka ruku'lah orang-orang dibelakang beliau. Kemudian beliau mengangkat kepala
dan mundur sehingga beliau sujud diatas bumi. Kemudian beliau kembali lagi ke
mimbar. Kemudian ruku', kemudian beliau mengangkat kepala kemudian beliau
mundur sehingga beliau duduk di tanah. Inilah keadaan beliau.

Abu Abdillah berkata
: ‘Ali bin Abdullah
berkata : Ahmad bin Hanbal rahimahullah bertanya kepadaku tentang hadits
ini. Dia berkata: Yang aku maksudkan bahwa Nabi SAW posisinya lebih tinggi
daripada orang-orang (makmum). Maka tidak mengapalah seorang Imam posisinya
lebih tinggi daripada makmum berdasarkan hadits ini. ‘Ali bin Abdullah
berkata: “Aku katakan : “Sesungguhnya Sufyan bin Uyainah sering ditanya
tentang masalah ini, apakah Anda tidak pernah mendengar darinya?’ Dia menjawab,
“Tidak.’” (Fathul Baari : 2/331

Memang sebagian ulama belakangan berfatwa
bahwa jika Imam lebih tinggi sedikit itu diperbolehkan, sebagaimana pendapat
mazhab Hanbali dan Maliki. Namun, fatwa dan pendapat ini sangat lemah jika kita
membaca keterangan-keterangan dari hadits tersebut. Karena menggunakan
perkataan sahabat Sahl bin Sa’d dan perkataan sahabat Abu Hazim
tentang shalat Nabi SAW di atas mimbar, untuk mendasari pendapat
diperbolehkannya imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum secara
mutlak, TENTU SAJA INI TIDAK TEPAT, karena bagaimana bisa hadits ini dijadikan
dalil untuk membolehkan imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum
secara mutlak, padahal perbuatan Nabi SAW itu (jelas-jelas) terkait dengan
pengajaran, sebagaimana ucapan Nabi SAW sendiri : ("أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا ، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي"). Wahai sekalian
manusia, aku berbuat seperti ini agar kalian dapat mengikuti dan mengetahui
(cara) sholatku”.

Memang di dalam kitab Fathul Baari, Ibnu
Hajar al-Asqalany mengatakan:

وَفِيهِ جَوَاز اِخْتِلَاف مَوْقِف الْإِمَام وَالْمَأْمُوم فِي الْعُلْو وَالسُّفْل.(فتح الباري)

“Dan pada hadits di atas (Hadits Sahal bin Sa'd) terdapat
kebolehan berbeda tinggi dan rendahnya tempat imam dan makmum”.

Akan tetapi dibawahnya, Ibnu Hajar al-Asqalany
dalam kitab Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Daqiq al-‘Aid yang cukup tegas dan
jelas dengan tidak ada komentar apapun dari Ibnu Hajar al-Asqalany, padahal perkataan
Ibnu Daqiq al-‘Aid ini merupkan bantahan terhadap pendapat tersebut.

وَلِابْنِ دَقِيق الْعِيد فِي ذَلِكَ بَحْثٌ ، فَإِنَّهُ قَالَ : مَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَدِلّ بِهِ عَلَى جَوَاز الِارْتِفَاع مِنْ غَيْر قَصْد التَّعْلِيم لَمْ يَسْتَقِمْ ؛ لِأَنَّ اللَّفْظ لَا يَتَنَاوَلهُ ، (فتح الباري _ بَاب الصَّلَاة فِي السُّطُوح وَالْمِنْبَر وَالْخَشَب )

Dan menurut Daqiq al-‘Aid mengenai pembahasan
hal itu, bahwa beliau berkomentar: “Barang siapa yang melakukan pendalilian
dengan hadits ini atas kebolehan berada pada tempat yang tinggi tanpa maksud
ta’lim (mengajar), maka tidak dapat diterima, karena lafadz ini tidak mencakup
hal tersebut.” (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut,
Juz. I, Hal. 487)

Kemudian dikutip juga dalam kitab
Nailul-Authar III: 246 :

قَالَ ابْنُ دَقِيْقِ اْلعِيْدِ : مَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ اْلاِرْتِفَاعِ مِنْ غَيْرِ قَصْدِ التَّعْلِيْمِ لَمْ يَسْتَقِمْ لِأَنَّ اللَّفْظَ لاَ يَتَنَاوَلَهُ. (نيل الأوطار 3: 236)

Ibnu Daqiqil-‘Ied berkata: Barang siapa yang
bermaksud menjadikan hadits ini sebagai dalil atas bolehnya irtifa’ (imam lebih
tinggi dari makmum) tanpa maksud ta’lim (memberikan pengajaran), maka tidaklah
benar, karena lafadz ini tidak mencakup hal tersebut. (Nailul-Authar III:
246)

Menurut
hemat kami, pemahaman seperti yang diutarakan oleh Daqiq al-‘Aid inilah yang lebih
tepat untuk diamalkan supaya hadits riwayat Bukhari dan Muslim ini tidak
bertentangan dengan hadits riwayat Abu Daud, Imam Al-Hakim Al-Mustadrak ‘ala
ash-Shahihain, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra dan Sunan ad-Daraquthniy di atas.
Imam As-Syaukani dalam kitab Nailul Authar
menjelaskan :

وَأَمَّا صَلَاته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَر . فَقِيلَ : إنَّهُ إنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ لِغَرَضِ التَّعْلِيم كَمَا يَدُلّ عَلَيْهِ قَوْله : { وَلِتَعْلَمُوا صَلَاتِي } . وَغَايَة مَا فِيهِ جَوَاز وُقُوف الْإِمَام عَلَى مَحَلّ أَرْفَع مِنْ الْمُؤْتَمِّينَ إذَا أَرَادَ تَعْلِيمهمْ. (نيل الأوطار:3/236)

Dan adapun shalatnya Nabi diatas mimbar. Maka
telah dikatakan : Bahwa sesungguhnya
beliau mengerjakan hal itu maksudnya hanya untuk tujuan mengajar, sebagaimana
menunjukan atas hal itu apa yang disabdakan oleh beliau: (وَلِتَعْلَمُوا صَلَاتِي) ”Agar supaya kalian
mengetahui cara shalatku”. Dan tujuan akhir yang terkandung dalam ungkapan
tersebut adalah bolehnya imam berdiri lebih tinggi daripada makmum apabila tujuannya
untuk mengajarkan mereka. (Nailul
Authar:3/236)

Dengan demikian, maka hadits tersebut secara
tersurat menjelaskan tentang bolehnya imam berdiri lebih tinggi dari pada
makmum ketika shalat dengan maksud untuk mengajarkan cara shalat yang benar
sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Adapun meninggikan posisi imam selain dari
alasan hal itu, maka dirang oleh Nabi SAW., sebagaimana termaktub dalam hadits
Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain 1:329 no.761, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra 3:108
no.5014, Sunan ad-Daraquthniy 2:88 no.1)
Redaksi Hadits Riwayat Muslim :

عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ نَفَرًا جَاءُوا إِلَى سَهْلِ بْنِ سَعْدٍقَدْ تَمَارَوْا فِي الْمِنْبَرِ مِنْ أَيِّ عُودٍ هُوَ فَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْرِفُ مِنْ أَيِّ عُودٍ هُوَ وَمَنْ عَمِلَهُ وَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلَ يَوْمٍ جَلَسَ عَلَيْهِ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا عَبَّاسٍ فَحَدِّثْنَا قَالَ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى امْرَأَةٍ قَالَ أَبُو حَازِمٍ إِنَّهُ لَيُسَمِّهَا يَوْمَئِذٍ انْظُرِي غُلَامَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِي أَعْوَادًا أُكَلِّمُ النَّاسَ عَلَيْهَا فَعَمِلَ هَذِهِ الثَّلَاثَ دَرَجَاتٍ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوُضِعَتْ هَذَا الْمَوْضِعَ فَهِيَ مِنْ طَرْفَاءِ الْغَابَةِ وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَالِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي. (رواه مسلم)

Abdul Aziz bin Abi Hazim dari Bapaknya:
"Bahwa sejumlah orang datang kepada Sahl bin Sa'd karena mereka
bertengkar mengenai mimbar Rasulullah SAW., terbuat dari kayu apakah mimbar
itu? Sahal menjawab, 'Demi Allah, aku tahu betul dari kayu apa mimbar itu
dibuat, siapa yang membuatnya, bahkan aku melihat Rasulullah SAW., duduk di
situ pada hari pertama mimbar itu selesai dibuat.' Kata Abu Hazim, 'Hai Abu
Abbas (Sahl)! Ceritakanlah kepada kami! ' Lalu Sahal bercerita, 'Pada suatu
hari Rasulullah SAW., menyuruh (untuk memanggil) seorang perempuan -Abu Hazim
berkata, 'Beliau menyebutkan namanya pada waktu itu'.- lalu beliau bersabda
kepadanya, 'Suruhlah anakmu yang tukang kayu itu membuatkan sebuah mimbar kayu
untuk tempatku berpidato kepada orang-orang'. Maka dia membuat tiga tingkat
ini. Kemudian Rasulullah memerintahkan supaya meletakkan mimbar itu di tempat
ini. Mimbar itu terbuat dari kayu hutan. Dan sungguh aku melihat Rasulullah
SAW., berdiri shalat di atas mimbar itu. Lalu beliau bertakbir, maka
orang-orang pun bertakbir pula di belakangnya, sedangkan beliau masih di atas
mimbar. Kemudian beliau bangkit mengangkat kepala dari rukuk, lalu turun sambil
mundur ke belakang sehingga beliau sujud di dasar/kaki mimbar. Kemudian beliau
mengulanginya kembali hingga selesai shalat. Sesudah itu beliau menghadap
kepada orang-orang lalu bersabda, 'Wahai sekalian manusia, aku melalukan ini
supaya kalian semua mengikutiku, dan supaya kalian belajar cara
shalatku'." (HR.Muslim)

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga
berkata :

وَفِيهِ : جَوَاز صَلَاة الْإِمَام عَلَى مَوْضِع أَعْلَى مِنْ مَوْضِع الْمَأْمُومِينَ ، وَلَكِنَّهُ يُكْرَه اِرْتِفَاع الْإِمَام عَلَى الْمَأْمُوم ، وَارْتِفَاع الْمَأْمُوم عَلَى الْإِمَام لِغَيْرِ حَاجَة ، فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ بِأَنْ أَرَادَ تَعْلِيمهمْ أَفْعَال الصَّلَاة لَمْ يُكْرَه ، بَلْ يُسْتَحَبّ لِهَذَا الْحَدِيث ، وَكَذَا إِنْ أَرَادَ الْمَأْمُوم إِعْلَام الْمَأْمُومِينَ بِصَلَاةِ الْإِمَام وَاحْتَاجَ إِلَى الِارْتِفَاع . (شرح النووى على مسلم)

“Dalam dalam hadits ini terdapat pelajaran bolehnya shalat
seorang imam di atas suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat shalat ma’mum.
Akan tetapi dibenci lebih tingginya (tempat) imam dari ma’mum dan tingginya
(tempat) ma’mum dari imam tanpa ada kebutuhan. Maka jika karena ada suatu
kebutuhan, yaitu untuk tujuan mengajarkan kepada mereka tata cara shalat, maka
tidak dibenci bahkan disukai karena berdasarkan hadits ini. Begitu pula jika
seorang ma’mum bermaksud memberi tahu ma’mum-ma’mum yang lain tentang sholatnya
imam dan membutuhkan tempat yang tinggi.” [Syarh Shohih Muslim karya An-Nawawi,
Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ish Sholat, bab Jawaazul Khuthwah wal Khuthwataini
fish Sholat]

Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm juga
berkometar :

وَأَخْتَارُ لِلْاِمَامِ الَّذِيْ يَعْلَمُ مِنْ خَلْفِهِ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى الشَّيْءِ الْمُرْتَفِعِ لِيَرَاهُ مِنْ وَرَاءِهِ فَيَقْتَدُوْنَ برِكُوُعِهِ وَسُجُوْدِهِ . وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ عَلِمَ النَّاسَ مَرَّةً أَحْبَبْتُ أَنْ يُصَلِّىَ مُسْتَوِيًا مَعَ الْمَأْمُوْمِيْنَ،

Saya memilih agar imam mengajari para makmum
mengenai cara mengerjakan shalat di tempat yang agak tinggi, agar ia dapat
dilihat oleh makmum yang ada di belakangnya, kemudian mereka mengikuti ruku’
dan sujudnya. Apabila imam telah mengajarkan manusia, maka saya menyukai jika
ia mengerjakan shalat pada tempat yang rata bersama para makmum… [Al-Umm].

Sayyid sabiq dalam kitab fiqih sunnahnya juga
berkomentar:

فَإِنْ كَانَ لِلإِمَامِ غَرضٌ مِنْ ارْتِفَاعِهِ عَلَى الْمَأْمُوْمِ فَإِنَّهُ لاَ كَرَاهَةَحِيْنَئِذٍ :
فَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السّاعديِّ قال : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَلَسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ اْلقَهْقَرِى وَسَجَدَ فيِ أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ، فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي. (رواه أحمد والبخارى ومسلم).

Akan tetapi jika meninggikan tempat itu ada
sesuatu maksud, maka tidaklah dimakruhkan: Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
dari Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi ia berkata: “Aku pernah melihat Nabi SAW duduk
di atas mimbar pada awal hari mimbar itu diletakkan, lalu takbir di atasnya
kemudian ruku’ kemudian turun (dari mimbar) dengan mundur lalu sujud di pangkal
mimbar, lalu mengulanginya sampai selesai, ketika selesai salat beliau
menghadap kepada orang-orang lalu bersabda: Wahai orang-orang! Sesungguhnya
saya melakukan ini agar kalian dapat mengikutiku dan mempelajari salatku.
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). [Fiqih Sunnah 1, hal. 146].

Kesimpulan:

Menurut hemat kami dari penjelasan
hadits-hadits Rasulullah SAW., yang bersumber dari sahabat Hammam, ‘Ady bin
Tsabit al-Anshary, Abu Mas’ud Al-Anshariy al-Anshary, Sahl bin Sa’ad, Abdul
Aziz bin Abi Hazim dan untaian penjelasan-penjelasan para ulama seperti Imam As-Syaukani,
Sayyid sabiq, Imam Syafi’I, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Imam Nawawi, Ibnu Hajar
al-Asqalany, maka meninggikan posisi imam lebih tinggi daripada makmumnya
adalah dilarang oleh Nabi SAW., kecuali sebatas untuk tujuan mengajarkan
kaifiyat shalat saja. Maka disini berlaku kaidah usul fikih ;

الحكم يدور مع العلة وجوداً وعدماً

Hukum itu berkisar (berputar) bersama 'illat nya, baik ada atau tidak adanya.

Hukum itu baru berlaku tergantung ada dan
tidak adanya illat (alasan). Selama illat/alasannyanya ada maka hukum pun berlaku.
tetapi ketika illat/alasannya tidak ada maka hukum pun menjadi tidak ada.

 C.   
TEMPAT MAKMUM BOLEH
LEBIH TINGGI DARI IMAM.

Apabila yang terjadi malah sebaliknya, yakni tempat
makmum lebih tinggi daripada imam, maka hal ini tidak apa-apa, karena hal itu pernah dilakukan oleh Abu Hurairah dan Anas
bin Malik.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى عَلَى ظَهْرِ الْمَسْجِدِ بِصَلاَةِ الْإِمَامِ.  (نيل الأوطار، مصنف عبد الرزاق، فتح البار لإبن حجر، شرح ابن بطال)

Dari Abu Hurairah, bahwa ia shalat di lantai
atas masjid dengan shalatnya imam (mengikuti imam).” (Nailul Authar,
Mushannaf Abdurrazaaq, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Syarah Ibnu bathal)

قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ : وَلَمْ يَرَ الْحَسَنُ بَأْسًا أَنْ يُصَلَّى عَلَى الْجُمْدِ وَالْقَنَاطِرِ وَإِنْ جَرَى تَحْتَهَا بَوْلٌ أَوْ فَوْقَهَا أَوْ أَمَامَهَا إِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا سُتْرَةٌ . وَصَلَّى أَبُو هُرَيْرَةَ عَلَى سَقْفِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ ، وَصَلَّى ابْنُ عُمَرَ عَلَى الثَّلْجِ. (فتح الباري: 2/31 _ بَاب الصَّلَاةِ فِي السُّطُوحِ وَالْمِنْبَرِ وَالْخَشَبِ )

Abu Abdillah berkata : “Al-Hasan menganggap
tidak apa-apa bagi seseorang untuk shalat di atas debu yang basah dan jembatan
meskipun air kencing mengalir di bawahnya atau di atasnya atau di depannya,
apabila di antara keduanya (antara orang tersebut dan kotoran
itu) terdapat sutrah (pembatas). dan Abu Hurairah juga pernah shalat di atas atap Masjid mengikut shalat
Imam. dan Ibnu Umar shalat di atas salju. (Fathul bari : 2/31 _ Bab shalat di atas
genteng, mimbar, dan kayu)

وَعَنْ أَنَسٍ : أَنَّهُ كَانَ يَجْمَعُ فِي دَارِ أَبِي نَافِعٍ عَنْ يَمِينِ الْمَسْجِدِ فِي غُرْفَةٍ قَدْرَ قَامَةٍ مِنْهَا ، لَهَا بَابٌ مُشْرِفٌ عَلَى الْمَسْجِدِ بِالْبَصْرَةِ ، فَكَانَ أَنَسٌ يَجْمَعُ فِيهِ وَيَأْتَمُّ بِالْإِمَامِ . (رَوَاهُمَا سَعِيدٌ فِي سُنَنه ) .

Dari Anas bin Malik, beliau melakukan shalat
Jum’at di rumah Abu Nafi’ di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi postur
tubuh manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas
mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Riwayat Sa’id bin
Manshur dalam Sunannya)

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan :

وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّىَ الْمَأْمُوْمُ مِنْ فَوْقِ الْمَسْجِدِ
بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ يَسْمَعُ صَوْتَهُ أَوْ
يَرَى بَعْضَ مَنْ خَلْفَهُ

Tidak mengapa makmum mengerjakan shalat di
atas masjid (lantai satu dan seterusnya) dan imam shalat di dalam masjid,
apabila ia dapat mendengar suaranya atau melihat sebagian orang yang ada di
belakang imam. (Al-Umm).

Sayyid sabiq dalam kitab fiqih sunnah
berkomentar:

وَأَمَّا ارْتِفَاعُ الْمَأْمُوْمِ عَلَى الإِمَامِ فَجَائِزٌ: لِمَا رَوَاهُ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ والشَّافِعِيُّ والبيهقيُّ وذكره البخاريُّ تَعْلِيْقًا عن أبى هريرةَ أنَّه صلَّى عَلَى ظَهْرِ الْمَسْجِدِ بِصَلاَةِ الإِمَامِ. وعَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ يَجْمَعُ فِي دَارِ أَبِي نَافِعٍ عَنْ يَمِيْنِ الْمَسْجِدِ فِي غُرْفَةٍ قَدْرَ قَامَةٍ مِنْهَا لَهَا بَابٌ مُشْرِفٌ عَلَى الْمَسْجِدِ بِالْبَصْرَةِ فَكَانَ أَنَسُ يَجْمَعُ فِيْهِ وَيَأْتَمُّ بِالإِمَامِ ، وَسَكَتَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ. (رواه سعيد بن منصور فى سننه). (فقه السنة - الشيخسيد سابق ج 1ص146)

Adapun tingginya tempat makmum melebihi imam,
maka hal itu dibolehkan: berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur,
Syafi’i, Baihaqi, dan disebutkan pula oleh Bukhari sebagai keterangan dari Abu
Hurairah bahwa ia pernah mengerjakan shalat di punggung (tempat di atas) masjid
dengan shalat mengikuti seorang imam. Dan diriwayatkan pula Dari Anas bin
Malik, beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’ di sebelah kanan
masjid, di sebuah ruangan setinggi postur tubuh manusia. Ruangan itu memiliki
pintu yang mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Maka Anas mengikuti shalat
Jum’at di tempat tersebut dan ia shalat menjadi makmum. Dan hal ini didiamkan
saja oleh para sahabat. (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunannya). [Fiqih
Sunnah 1, hal. 146].

والله
سبحانه وتعالى أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب


Oleh :  Mudrikah Daud