Mengenai masalah ini di
kalangan para ulama memang terjadi perbedaan pendapat, diantaranya ada tiga pendapat fuqaha mengenai masalah ini,
sebagaimana saya temukan di dalam kitab Bidayatul Mujtahid fikih Maliki.
Ibnu rusyd berkata:
وأما موضع الامام ، فإن قوما أجازوا أن يكون أرفع من موضع المأمومين، وقوم منعوا ذلك، وقوم استحبوا من ذلك اليسير، وهو مذهب مالك. (بداية المجتهد ونهاية المقتصد - ابن رشد الحفيد - فقه مالكي: 1/120)
Adapun Tempat imam, maka sesungguhya
sekelompok orang (fuqaha) mereka membolehkan Imam berada di tempat yang lebih
tinggi dari pada tempat makmum. Sekelompok orang (fuqaha) lainnya mereka
melarang hal itu. dan sekelompok orang (fuqaha) lainnya lagi menyukai hal itu (agar tempat imam lebih tinggi) sedikit (dibanding makmum),
dan ini adalah madzhab Maliki. [Bidayatul Mujtahid : 1/120].
Sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
masalah ini karena ada dua hadits Nabi SAW., yang terlihat seolah-olah
bertentangan, padahal sesungguhnya kalau dikaji dengan benar dan teliti kedua hadits
itu tidak saling bertentangan dan tidak saling membantah. Maka oleh karena itu
marilah kita kaji persoalan ini lebih jauh:
A.
TEMPAT IMAM TIDAK BOLEH
LEBIH TINGGI DARI MAKMUM
1. Hadits
sahabat Hammam :
عَنْ هَمَّامٍ : أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ ، فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَعَنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتنِي . (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد) .
Dari Hammam : Bahwa sesungguhnya
Huzaifah mengimami manusia di Kota Mada-in (kota di Baghdad) di atas
toko/tempat duduk panjang yang tinggi. Maka Abu Mas’ud mengambil baju gamisnya
dan menariknya. Maka ketika selesai dari shalatnya, Abu Mas’ud berkata :
“Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya mereka melarang dari perbuatan
itu? Hudzaifah menjawab, “Ya, benar !. aku baru ingat ketika engkau
menarikku gamishku (HR. Abu Daud, “hadits shahih”)
2. Hadits
sahabat ‘Ady bin Tsabit al-Anshary :
عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ : حَدَّثَنِي رَجُلٌ أَنَّهُ كَانَ مَعَ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ بِالْمَدَائِنِ فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَتَقَدَّمَ عَمَّارٌ وَقَامَ عَلَى دُكَّانٍ يُصَلِّي وَالنَّاسُ أَسْفَلَ مِنْهُ فَتَقَدَّمَ حُذَيْفَةُ فَأَخَذَ عَلَى يَدَيْهِ فَاتَّبَعَهُ عَمَّارٌ حَتَّى أَنْزَلَهُ حُذَيْفَةُ ، فَلَمَّا فَرَغَ عَمَّارٌ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ : أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ؟ قَالَ عَمَّارٌ : لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد )
Dari Adi bin Tsabit al-Anshari, seseorang
telah menceritakan kepadaku bahwa ia bersama ‘Ammar bin Yasir di kota Mada’in.
Kemudian dikumandangkan iqamat. Lalu ‘Ammar maju dan berdiri di atas tempat
yang lebih tinggi melakukan shalat, sementara orang-orang di bawah. Hudzaifah
pun maju lalu menarik dua tangannya hingga ‘Ammar mengikutinya sampai Hudzaifah
menurunkannya. Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya Hudzaifah berkata,
“Tidakkah kamu mendengar Rasulullah SAW bersabda : ‘Apabila seseorang mengimami
suatu kaum, maka janganlah ia berdiri pada tempat yang lebih tinggi dari tempat
mereka atau semakna dengan itu.’ Ammar pun berkata, ‘Karena itulah saya
menuruti engkau ketika kamu memegang tanganku’.” (HR. Abu Dawud)
3. Hadits
sahabat Abu Mas’ud Al-Anshariy al-Anshary :
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِي قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلمأَنْ يَقُوْمَ اْلإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ ، يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ. (المستدرك على الصحيحين 1:329، سنن البيهقي الكبرى : 3:108، سنن الدارقطنى 2/88)
Dari Abu Mas’ud Al-Anshariy, berkata:
Rasulullah saw melarang seorang imam berdiri di atas sesuatu sedangkan orang-orang
di belakangnya (makmum) lebih rendah darinya. (Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain 1:329
no.761, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra 3:108 no.5014, Sunan ad-Daraquthniy 2:88
no.1)
Ketiga hadits diatas menjadi dalil tentang
dibencinya meninggikan tempat duduk Imam ketika shalat berjamaah.
Imam As-Syaukani dalam kitab Nailul Authar
berkesimpulan :
( وَالْحَاصِل ) مِنْ الْأَدِلَّة مَنْع ارْتِفَاع الْإِمَام عَلَى الْمُؤْتَمِّينَ مِنْ غَيْر فَرْق بَيْن الْمَسْجِد وَغَيْره وَبَيْن الْقَامَة وَدُونهَا وَفَوْقهَا ، لِقَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ : إنَّهُمْ كَانُوا يُنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ . وَقَوْل ابْنِ مَسْعُودٍ : " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " الْحَدِيث .
Al-Hasil/kesimpulnnya ; dari dalil-dalil
tersebut adalah dilarangnya imam berada di tempat yang lebih tinggi dari pada
makmum, tanpa ada perbedaan, baik itu di masjid ataupun di tempat lainnya, yang
sejajar dengan tinggi badan, di bawahnya atau di atasnya. Berdasarkan perkataan
Abu Mas’ud : “sesungguhnya mereka melarang dari perbuatan itu?. dan
perkataan Ibnu Mas’ud : Rasulullah saw melarang. Bacalah
kembali haditsnya. [Nailul Authar 3, hal. 236].
Sayyid sabiq dalam kitab fiqih sunnah
berkomentar:
يُكْرَهُ أَنْ يَقِفَ الإِمَامُ أَعْلَى مِنَ الْمَأْمُوْمِ : فَعَنْ أََبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِي قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ يَقُوْمَ اْلإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ، (رواه الدَّارَقطْنِي وسكت عنه الحافظُ في التّلخيص). وعَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ؟ قَالَ : بَلَى ، قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتَنِي. (روه أبو داود والشافعي والبيهقى وصححه الحاكم وابنخزيمة وابن حبان).
Seorang imam dimakruhkan (dibenci) berdiri di
tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mas’ud
Al-Anshari ia berkata: “Rasulullah SAW melarang seorang imam itu berdiri di
atas sesuatu, sedangkan makmum berada di bawahnya atau lebih rendah darinya”
(HR. Daruquthni, tetapi tidak disebutkan oleh Al-Hafidz dalam kitab
At-Talkhis). Dan
dari Hammam bin Harits, ”Sesungguhnya Hudzaifah mengimami orang-orang di
Madain di atas dukan (tempat yang tinggi) Lalu Abu Mas’ud memegang gamisnya dan
menariknya, ketika setelah selesai salat ia berkata: Tidakkah kamu tahu bahwa
sesungguhnya mereka (para sahabat) melarang dari hal itu?. Dia menjawab: tentu
saja saya tahu, sungguh saya ingat ketika kamu menarikku”. (HR Abu Daud,
Syafi’i, Baihaqi, dan disahkan oleh Hakim, Imam Khuzaimah, dan Ibnu Hibban) [Fiqih
Sunnah 1, hal. 146].
B.
TEMPAT IMAM BOLEH LEBIH
TINGGI DARI MAKMUM JIKA DENGAN MAKSUD TA’LIM (MEMBERIKAN PENGAJARAN)
Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW memang
pernah berdiri lebih tinggi daripada makmum ketika shalat berjamaahnya, akan
tetapi Rasulullah SAW melakukan hal itu tujuannya hanya untuk mengajarkan
kepada orang-orang bagaimana cara shalat Rasulullah SAW. dan hal ini hanya
dilakukan satu kali oleh Nabi SAW. Tempat shalat beliau waktu itu selain di
atas mimbar juga di atas tanah sejajar bersama para makmum, jadi beliau tidak
melakukan semua kaifiyat shalatnya di atas mimbar, akan tetapi beliau shalatnya
naik turun, yaitu takbir dan ruku di atas mimbar lalu untuk sujud dan duduk
dilakukan di bawah mimbar (turun du ke tanah).
Hal tersebut dapat dibaca antara lain dalam
hadits Bukhari dan Muslim yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitab
Nailul Authar juz : 3 halaman : 235.
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَلَسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ فِى أَوَّلِ يَوْمٍ وُضِعَ فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ اْلقَهْقَرِى فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ مَعَهُ ، ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : " أَيُّهَاالنَّاسُ إِنَّمَا فَعَلْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِيْ وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي ". (متفق عليه _
نيل الأوطار : 3 /236)
Dari Sahl bin Sa’ad: Bahwasannya Nabi saw
pernah duduk diatas mimbar pada awal hari diletakkannya, kemudian beliau
bertakbir (shalat) dalam posisi di atas mimbar lalu ruku’ dalam posisi masih di
atas mimbar. Kemudian Beliau turun dengan mundur ke belakang, lalu sujud di
dasar mimbar, kemudian Beliau mengulangi lagi (hingga shalat selesai). Setelah
selesai, beliau menghadap kepada orang banyak lalu bersabda: “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya aku berbuat seperti ini agar kalian mengikuti dan agar
kalian dapat mengambil pelajaran tentang tata cara shalatku (mengajarkan kalian
cara Shalatku ini).” (Mutafaq ‘alaih _ Nailul-Authar:3/236)
Redaksi Hadits Riwayat Al-Bukhari :
حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمِ بْنُ دِينَارٍ : أَنَّ رِجَالًا أَتَوْا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ السَّاعِدِيَّ ، وَقَدْ امْتَرَوْا ، فِي الْمِنْبَرِ مِمَّ عُودُهُ ؟ فَسَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ : وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْرِفُ مِمَّا هُوَ ، وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ . وَأَوَّلَ يَوْمٍ جَلَسَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فُلَانَةَ - امْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ سَمَّاهَا سَهْلٌ – "مُرِي غُلَامَكِالنَّجَّارَ أَنْ يَعْمَلَ لِي أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ إِذَا كَلَّمْتُ النَّاسَ"- فَأَمَرَتْهُ فَعَمِلَهَا مِنْ طَرْفَاءِ الْغَابَةِ ، ثُمَّ جَاءَ بِهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَوُضِعَتْ هَا هُنَا . ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهَا ، وَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهَا ، ثُمَّ رَكَعَ وَهُوَ عَلَيْهَا ، ثُمَّ نَزَلَ الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ، ثُمَّ عَادَ . فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ : " أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا ، وَلِتَعَلَّمُواصَلَاتِي ". (رواه البخاري)
Abu Hazim bin Dinar telah menceritakan : “Bahwa
beberapa orang mendatangi Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, setelah sebelumnya mereka
berdebat tentang mimbar, dari kayu apa ia dibuat?. Mereka datang menanyakan
kepadanya tentang hal itu. Sahl bin Sa’ad berkata,”Demi Allah, aku tahu benar
dari kayu apa ia dibuat. Dan aku melihat pertama kali ia diletakkan dan pertama
kali Rasulullah SAW., duduk diatasnya. Rasulullah SAW., mengutus seseorang kepada seorang wanita
-dari kalangan Anshar yang telah disebutkan namanya oleh Sahl bin Sa’ad- :
“Suruhlah budakmu yang tukang kayu untuk membuatkan bangunan kayu untukku agar
aku duduk diatasnya ketika berbicara kepada orang-orang”. Lalu wanita itu
menyuruh budaknya. Budak itu pun membuatnya dari kayu thorfa (sejenis pohon
cemara) dari Ghabah (pinggiran Madinah), lalu ia membawanya. Kemudian wanita
itu mengirimnya (mimbar tesebut) kepada Rasulullah SAW. Dan Rasulullah SAW.
menyuruh meletakkannya disini. Setelah itu aku melihat Rasulullah SAW sholat
diatasnya; beliau bertakbir dan ruku’ diatasnya. Lalu beliau turun mundur dan
sujud didasar mimbar (diatas tanah), kemudian beliau kembali lagi. Setelah
selesai beliau SAW menghadap jama’ahnya seraya berkata,” Wahai sekalian
manusia, aku berbuat seperti ini agar kalian dapat mengikuti dan mengetahui (cara)
sholatku”. (HR Bukhari).
Redaksi Hadits Riwayat Al-Bukhari berikut
pernyataan ‘Ali bin Abdullah:
أَبُو حَازِمٍ قَالَ : سَأَلُوا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ الْمِنْبَرُ ؟ فَقَالَ : مَا بَقِيَ بِالنَّاسِ أَعْلَمُ مِنِّي ، هُوَ مِنْ أَثْلِ الْغَابَةِ ، عَمِلَهُ فُلَانٌ مَوْلَى فُلَانَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ عُمِلَ وَوُضِعَ ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ ، كَبَّرَ وَقَامَ النَّاسُ خَلْفَهُ ، فَقَرَأَ وَرَكَعَ وَرَكَعَ النَّاسُ خَلْفَهُ ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ، ثُمَّ رَجَعَ الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ عَلَى الْأَرْضِ ، ثُمَّ عَادَ إِلَى الْمِنْبَرِ ، ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ رَجَعَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ بِالْأَرْضِ . فَهَذَا شَأْنُهُ .
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ : قَالَ عَلِيُّ بْنُ
عَبْدِ اللهِ :
سَأَلَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ ، قَالَ
: فَإِنَّمَا أَرَدْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَعْلَى
مِنْ النَّاسِ ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ أَعْلَى مِنْ النَّاسِ بِهَذَا
الْحَدِيثِ . قَالَ : فَقُلْتُ : إِنَّ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ كَانَ يُسْأَلُ عَنْ
هَذَا كَثِيرًا فَلَمْ تَسْمَعْهُ مِنْهُ ؟ قَالَ : لَا . ( البخاري
_ فتح الباري :2/331 )
Abu Hazm berkata : Orang-orang bertanya
kepada Sahal bin Sa'd dari apakah mimbar itu?" Ia berkata: "Tidak ada
orang yang lebih mengetahui daripadaku. Mimbar itu dari pohon di hutan yang
dibuat oleh Fulan budak Fulanah milik Rasullullah SAW. Rasullullah SAW berdiri
diatasnya ketika mimbar itu dibuat dan diletakkan. Lalu beliau menghadap kiblat
dan takbir. Orang-orang berdiri di belakang beliau. Beliau membaca dan ruku'.
Maka ruku'lah orang-orang dibelakang beliau. Kemudian beliau mengangkat kepala
dan mundur sehingga beliau sujud diatas bumi. Kemudian beliau kembali lagi ke
mimbar. Kemudian ruku', kemudian beliau mengangkat kepala kemudian beliau
mundur sehingga beliau duduk di tanah. Inilah keadaan beliau.
Abu Abdillah berkata
: ‘Ali bin Abdullah
berkata : Ahmad bin Hanbal rahimahullah bertanya kepadaku tentang hadits
ini. Dia berkata: Yang aku maksudkan bahwa Nabi SAW posisinya lebih tinggi
daripada orang-orang (makmum). Maka tidak mengapalah seorang Imam posisinya
lebih tinggi daripada makmum berdasarkan hadits ini. ‘Ali bin Abdullah
berkata: “Aku katakan : “Sesungguhnya Sufyan bin Uyainah sering ditanya
tentang masalah ini, apakah Anda tidak pernah mendengar darinya?’ Dia menjawab,
“Tidak.’” (Fathul Baari : 2/331
Memang sebagian ulama belakangan berfatwa
bahwa jika Imam lebih tinggi sedikit itu diperbolehkan, sebagaimana pendapat
mazhab Hanbali dan Maliki. Namun, fatwa dan pendapat ini sangat lemah jika kita
membaca keterangan-keterangan dari hadits tersebut. Karena menggunakan
perkataan sahabat Sahl bin Sa’d dan perkataan sahabat Abu Hazim
tentang shalat Nabi SAW di atas mimbar, untuk mendasari pendapat
diperbolehkannya imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum secara
mutlak, TENTU SAJA INI TIDAK TEPAT, karena bagaimana bisa hadits ini dijadikan
dalil untuk membolehkan imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum
secara mutlak, padahal perbuatan Nabi SAW itu (jelas-jelas) terkait dengan
pengajaran, sebagaimana ucapan Nabi SAW sendiri : ("أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا ، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي"). Wahai sekalian
manusia, aku berbuat seperti ini agar kalian dapat mengikuti dan mengetahui
(cara) sholatku”.
Memang di dalam kitab Fathul Baari, Ibnu
Hajar al-Asqalany mengatakan:
وَفِيهِ جَوَاز اِخْتِلَاف مَوْقِف الْإِمَام وَالْمَأْمُوم فِي الْعُلْو وَالسُّفْل.(فتح الباري)
“Dan pada hadits di atas (Hadits Sahal bin Sa'd) terdapat
kebolehan berbeda tinggi dan rendahnya tempat imam dan makmum”.
Akan tetapi dibawahnya, Ibnu Hajar al-Asqalany
dalam kitab Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Daqiq al-‘Aid yang cukup tegas dan
jelas dengan tidak ada komentar apapun dari Ibnu Hajar al-Asqalany, padahal perkataan
Ibnu Daqiq al-‘Aid ini merupkan bantahan terhadap pendapat tersebut.
وَلِابْنِ دَقِيق الْعِيد فِي ذَلِكَ بَحْثٌ ، فَإِنَّهُ قَالَ : مَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَدِلّ بِهِ عَلَى جَوَاز الِارْتِفَاع مِنْ غَيْر قَصْد التَّعْلِيم لَمْ يَسْتَقِمْ ؛ لِأَنَّ اللَّفْظ لَا يَتَنَاوَلهُ ، (فتح الباري _ بَاب الصَّلَاة فِي السُّطُوح وَالْمِنْبَر وَالْخَشَب )
Dan menurut Daqiq al-‘Aid mengenai pembahasan
hal itu, bahwa beliau berkomentar: “Barang siapa yang melakukan pendalilian
dengan hadits ini atas kebolehan berada pada tempat yang tinggi tanpa maksud
ta’lim (mengajar), maka tidak dapat diterima, karena lafadz ini tidak mencakup
hal tersebut.” (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut,
Juz. I, Hal. 487)
Kemudian dikutip juga dalam kitab
Nailul-Authar III: 246 :
قَالَ ابْنُ دَقِيْقِ اْلعِيْدِ : مَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ اْلاِرْتِفَاعِ مِنْ غَيْرِ قَصْدِ التَّعْلِيْمِ لَمْ يَسْتَقِمْ لِأَنَّ اللَّفْظَ لاَ يَتَنَاوَلَهُ. (نيل الأوطار 3: 236)
Ibnu Daqiqil-‘Ied berkata: Barang siapa yang
bermaksud menjadikan hadits ini sebagai dalil atas bolehnya irtifa’ (imam lebih
tinggi dari makmum) tanpa maksud ta’lim (memberikan pengajaran), maka tidaklah
benar, karena lafadz ini tidak mencakup hal tersebut. (Nailul-Authar III:
246)
Menurut
hemat kami, pemahaman seperti yang diutarakan oleh Daqiq al-‘Aid inilah yang lebih
tepat untuk diamalkan supaya hadits riwayat Bukhari dan Muslim ini tidak
bertentangan dengan hadits riwayat Abu Daud, Imam Al-Hakim Al-Mustadrak ‘ala
ash-Shahihain, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra dan Sunan ad-Daraquthniy di atas.
Imam As-Syaukani dalam kitab Nailul Authar
menjelaskan :
وَأَمَّا صَلَاته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَر . فَقِيلَ : إنَّهُ إنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ لِغَرَضِ التَّعْلِيم كَمَا يَدُلّ عَلَيْهِ قَوْله : { وَلِتَعْلَمُوا صَلَاتِي } . وَغَايَة مَا فِيهِ جَوَاز وُقُوف الْإِمَام عَلَى مَحَلّ أَرْفَع مِنْ الْمُؤْتَمِّينَ إذَا أَرَادَ تَعْلِيمهمْ. (نيل الأوطار:3/236)
Dan adapun shalatnya Nabi diatas mimbar. Maka
telah dikatakan : Bahwa sesungguhnya
beliau mengerjakan hal itu maksudnya hanya untuk tujuan mengajar, sebagaimana
menunjukan atas hal itu apa yang disabdakan oleh beliau: (وَلِتَعْلَمُوا صَلَاتِي) ”Agar supaya kalian
mengetahui cara shalatku”. Dan tujuan akhir yang terkandung dalam ungkapan
tersebut adalah bolehnya imam berdiri lebih tinggi daripada makmum apabila tujuannya
untuk mengajarkan mereka. (Nailul
Authar:3/236)
Dengan demikian, maka hadits tersebut secara
tersurat menjelaskan tentang bolehnya imam berdiri lebih tinggi dari pada
makmum ketika shalat dengan maksud untuk mengajarkan cara shalat yang benar
sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Adapun meninggikan posisi imam selain dari
alasan hal itu, maka dirang oleh Nabi SAW., sebagaimana termaktub dalam hadits
Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain 1:329 no.761, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra 3:108
no.5014, Sunan ad-Daraquthniy 2:88 no.1)
Redaksi Hadits Riwayat Muslim :
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ نَفَرًا جَاءُوا إِلَى سَهْلِ بْنِ سَعْدٍقَدْ تَمَارَوْا فِي الْمِنْبَرِ مِنْ أَيِّ عُودٍ هُوَ فَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْرِفُ مِنْ أَيِّ عُودٍ هُوَ وَمَنْ عَمِلَهُ وَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلَ يَوْمٍ جَلَسَ عَلَيْهِ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا عَبَّاسٍ فَحَدِّثْنَا قَالَ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى امْرَأَةٍ قَالَ أَبُو حَازِمٍ إِنَّهُ لَيُسَمِّهَا يَوْمَئِذٍ انْظُرِي غُلَامَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِي أَعْوَادًا أُكَلِّمُ النَّاسَ عَلَيْهَا فَعَمِلَ هَذِهِ الثَّلَاثَ دَرَجَاتٍ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوُضِعَتْ هَذَا الْمَوْضِعَ فَهِيَ مِنْ طَرْفَاءِ الْغَابَةِ وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَالِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي. (رواه مسلم)
Abdul Aziz bin Abi Hazim dari Bapaknya:
"Bahwa sejumlah orang datang kepada Sahl bin Sa'd karena mereka
bertengkar mengenai mimbar Rasulullah SAW., terbuat dari kayu apakah mimbar
itu? Sahal menjawab, 'Demi Allah, aku tahu betul dari kayu apa mimbar itu
dibuat, siapa yang membuatnya, bahkan aku melihat Rasulullah SAW., duduk di
situ pada hari pertama mimbar itu selesai dibuat.' Kata Abu Hazim, 'Hai Abu
Abbas (Sahl)! Ceritakanlah kepada kami! ' Lalu Sahal bercerita, 'Pada suatu
hari Rasulullah SAW., menyuruh (untuk memanggil) seorang perempuan -Abu Hazim
berkata, 'Beliau menyebutkan namanya pada waktu itu'.- lalu beliau bersabda
kepadanya, 'Suruhlah anakmu yang tukang kayu itu membuatkan sebuah mimbar kayu
untuk tempatku berpidato kepada orang-orang'. Maka dia membuat tiga tingkat
ini. Kemudian Rasulullah memerintahkan supaya meletakkan mimbar itu di tempat
ini. Mimbar itu terbuat dari kayu hutan. Dan sungguh aku melihat Rasulullah
SAW., berdiri shalat di atas mimbar itu. Lalu beliau bertakbir, maka
orang-orang pun bertakbir pula di belakangnya, sedangkan beliau masih di atas
mimbar. Kemudian beliau bangkit mengangkat kepala dari rukuk, lalu turun sambil
mundur ke belakang sehingga beliau sujud di dasar/kaki mimbar. Kemudian beliau
mengulanginya kembali hingga selesai shalat. Sesudah itu beliau menghadap
kepada orang-orang lalu bersabda, 'Wahai sekalian manusia, aku melalukan ini
supaya kalian semua mengikutiku, dan supaya kalian belajar cara
shalatku'." (HR.Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga
berkata :
وَفِيهِ : جَوَاز صَلَاة الْإِمَام عَلَى مَوْضِع أَعْلَى مِنْ مَوْضِع الْمَأْمُومِينَ ، وَلَكِنَّهُ يُكْرَه اِرْتِفَاع الْإِمَام عَلَى الْمَأْمُوم ، وَارْتِفَاع الْمَأْمُوم عَلَى الْإِمَام لِغَيْرِ حَاجَة ، فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ بِأَنْ أَرَادَ تَعْلِيمهمْ أَفْعَال الصَّلَاة لَمْ يُكْرَه ، بَلْ يُسْتَحَبّ لِهَذَا الْحَدِيث ، وَكَذَا إِنْ أَرَادَ الْمَأْمُوم إِعْلَام الْمَأْمُومِينَ بِصَلَاةِ الْإِمَام وَاحْتَاجَ إِلَى الِارْتِفَاع . (شرح النووى على مسلم)
“Dalam dalam hadits ini terdapat pelajaran bolehnya shalat
seorang imam di atas suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat shalat ma’mum.
Akan tetapi dibenci lebih tingginya (tempat) imam dari ma’mum dan tingginya
(tempat) ma’mum dari imam tanpa ada kebutuhan. Maka jika karena ada suatu
kebutuhan, yaitu untuk tujuan mengajarkan kepada mereka tata cara shalat, maka
tidak dibenci bahkan disukai karena berdasarkan hadits ini. Begitu pula jika
seorang ma’mum bermaksud memberi tahu ma’mum-ma’mum yang lain tentang sholatnya
imam dan membutuhkan tempat yang tinggi.” [Syarh Shohih Muslim karya An-Nawawi,
Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ish Sholat, bab Jawaazul Khuthwah wal Khuthwataini
fish Sholat]
Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm juga
berkometar :
وَأَخْتَارُ لِلْاِمَامِ الَّذِيْ يَعْلَمُ مِنْ خَلْفِهِ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى الشَّيْءِ الْمُرْتَفِعِ لِيَرَاهُ مِنْ وَرَاءِهِ فَيَقْتَدُوْنَ برِكُوُعِهِ وَسُجُوْدِهِ . وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ عَلِمَ النَّاسَ مَرَّةً أَحْبَبْتُ أَنْ يُصَلِّىَ مُسْتَوِيًا مَعَ الْمَأْمُوْمِيْنَ،
Saya memilih agar imam mengajari para makmum
mengenai cara mengerjakan shalat di tempat yang agak tinggi, agar ia dapat
dilihat oleh makmum yang ada di belakangnya, kemudian mereka mengikuti ruku’
dan sujudnya. Apabila imam telah mengajarkan manusia, maka saya menyukai jika
ia mengerjakan shalat pada tempat yang rata bersama para makmum… [Al-Umm].
Sayyid sabiq dalam kitab fiqih sunnahnya juga
berkomentar:
فَإِنْ كَانَ لِلإِمَامِ غَرضٌ مِنْ ارْتِفَاعِهِ عَلَى الْمَأْمُوْمِ فَإِنَّهُ لاَ كَرَاهَةَحِيْنَئِذٍ :
فَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السّاعديِّ قال : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَلَسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ اْلقَهْقَرِى وَسَجَدَ فيِ أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ، فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي. (رواه أحمد والبخارى ومسلم).
Akan tetapi jika meninggikan tempat itu ada
sesuatu maksud, maka tidaklah dimakruhkan: Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
dari Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi ia berkata: “Aku pernah melihat Nabi SAW duduk
di atas mimbar pada awal hari mimbar itu diletakkan, lalu takbir di atasnya
kemudian ruku’ kemudian turun (dari mimbar) dengan mundur lalu sujud di pangkal
mimbar, lalu mengulanginya sampai selesai, ketika selesai salat beliau
menghadap kepada orang-orang lalu bersabda: Wahai orang-orang! Sesungguhnya
saya melakukan ini agar kalian dapat mengikutiku dan mempelajari salatku.
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). [Fiqih Sunnah 1, hal. 146].
Kesimpulan:
Menurut hemat kami dari penjelasan
hadits-hadits Rasulullah SAW., yang bersumber dari sahabat Hammam, ‘Ady bin
Tsabit al-Anshary, Abu Mas’ud Al-Anshariy al-Anshary, Sahl bin Sa’ad, Abdul
Aziz bin Abi Hazim dan untaian penjelasan-penjelasan para ulama seperti Imam As-Syaukani,
Sayyid sabiq, Imam Syafi’I, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Imam Nawawi, Ibnu Hajar
al-Asqalany, maka meninggikan posisi imam lebih tinggi daripada makmumnya
adalah dilarang oleh Nabi SAW., kecuali sebatas untuk tujuan mengajarkan
kaifiyat shalat saja. Maka disini berlaku kaidah usul fikih ;
الحكم يدور مع العلة وجوداً وعدماً
Hukum itu berkisar (berputar) bersama 'illat nya, baik ada atau tidak adanya.
Hukum itu baru berlaku tergantung ada dan
tidak adanya illat (alasan). Selama illat/alasannyanya ada maka hukum pun berlaku.
tetapi ketika illat/alasannya tidak ada maka hukum pun menjadi tidak ada.
C.
TEMPAT MAKMUM BOLEH
LEBIH TINGGI DARI IMAM.
Apabila yang terjadi malah sebaliknya, yakni tempat
makmum lebih tinggi daripada imam, maka hal ini tidak apa-apa, karena hal itu pernah dilakukan oleh Abu Hurairah dan Anas
bin Malik.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى عَلَى ظَهْرِ الْمَسْجِدِ بِصَلاَةِ الْإِمَامِ. (نيل الأوطار، مصنف عبد الرزاق، فتح البار لإبن حجر، شرح ابن بطال)
Dari Abu Hurairah, bahwa ia shalat di lantai
atas masjid dengan shalatnya imam (mengikuti imam).” (Nailul Authar,
Mushannaf Abdurrazaaq, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Syarah Ibnu bathal)
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ : وَلَمْ يَرَ الْحَسَنُ بَأْسًا أَنْ يُصَلَّى عَلَى الْجُمْدِ وَالْقَنَاطِرِ وَإِنْ جَرَى تَحْتَهَا بَوْلٌ أَوْ فَوْقَهَا أَوْ أَمَامَهَا إِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا سُتْرَةٌ . وَصَلَّى أَبُو هُرَيْرَةَ عَلَى سَقْفِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ ، وَصَلَّى ابْنُ عُمَرَ عَلَى الثَّلْجِ. (فتح الباري: 2/31 _ بَاب الصَّلَاةِ فِي السُّطُوحِ وَالْمِنْبَرِ وَالْخَشَبِ )
Abu Abdillah berkata : “Al-Hasan menganggap
tidak apa-apa bagi seseorang untuk shalat di atas debu yang basah dan jembatan
meskipun air kencing mengalir di bawahnya atau di atasnya atau di depannya,
apabila di antara keduanya (antara orang tersebut dan kotoran
itu) terdapat sutrah (pembatas). dan Abu Hurairah juga pernah shalat di atas atap Masjid mengikut shalat
Imam. dan Ibnu Umar shalat di atas salju. (Fathul bari : 2/31 _ Bab shalat di atas
genteng, mimbar, dan kayu)
وَعَنْ أَنَسٍ : أَنَّهُ كَانَ يَجْمَعُ فِي دَارِ أَبِي نَافِعٍ عَنْ يَمِينِ الْمَسْجِدِ فِي غُرْفَةٍ قَدْرَ قَامَةٍ مِنْهَا ، لَهَا بَابٌ مُشْرِفٌ عَلَى الْمَسْجِدِ بِالْبَصْرَةِ ، فَكَانَ أَنَسٌ يَجْمَعُ فِيهِ وَيَأْتَمُّ بِالْإِمَامِ . (رَوَاهُمَا سَعِيدٌ فِي سُنَنه ) .
Dari Anas bin Malik, beliau melakukan shalat
Jum’at di rumah Abu Nafi’ di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi postur
tubuh manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas
mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Riwayat Sa’id bin
Manshur dalam Sunannya)
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan :
وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّىَ الْمَأْمُوْمُ مِنْ فَوْقِ الْمَسْجِدِ
بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ يَسْمَعُ صَوْتَهُ أَوْ
يَرَى بَعْضَ مَنْ خَلْفَهُ
Tidak mengapa makmum mengerjakan shalat di
atas masjid (lantai satu dan seterusnya) dan imam shalat di dalam masjid,
apabila ia dapat mendengar suaranya atau melihat sebagian orang yang ada di
belakang imam. (Al-Umm).
Sayyid sabiq dalam kitab fiqih sunnah
berkomentar:
وَأَمَّا ارْتِفَاعُ الْمَأْمُوْمِ عَلَى الإِمَامِ فَجَائِزٌ: لِمَا رَوَاهُ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ والشَّافِعِيُّ والبيهقيُّ وذكره البخاريُّ تَعْلِيْقًا عن أبى هريرةَ أنَّه صلَّى عَلَى ظَهْرِ الْمَسْجِدِ بِصَلاَةِ الإِمَامِ. وعَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ يَجْمَعُ فِي دَارِ أَبِي نَافِعٍ عَنْ يَمِيْنِ الْمَسْجِدِ فِي غُرْفَةٍ قَدْرَ قَامَةٍ مِنْهَا لَهَا بَابٌ مُشْرِفٌ عَلَى الْمَسْجِدِ بِالْبَصْرَةِ فَكَانَ أَنَسُ يَجْمَعُ فِيْهِ وَيَأْتَمُّ بِالإِمَامِ ، وَسَكَتَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ. (رواه سعيد بن منصور فى سننه). (فقه السنة - الشيخسيد سابق ج 1ص146)
Adapun tingginya tempat makmum melebihi imam,
maka hal itu dibolehkan: berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur,
Syafi’i, Baihaqi, dan disebutkan pula oleh Bukhari sebagai keterangan dari Abu
Hurairah bahwa ia pernah mengerjakan shalat di punggung (tempat di atas) masjid
dengan shalat mengikuti seorang imam. Dan diriwayatkan pula Dari Anas bin
Malik, beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’ di sebelah kanan
masjid, di sebuah ruangan setinggi postur tubuh manusia. Ruangan itu memiliki
pintu yang mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Maka Anas mengikuti shalat
Jum’at di tempat tersebut dan ia shalat menjadi makmum. Dan hal ini didiamkan
saja oleh para sahabat. (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunannya). [Fiqih
Sunnah 1, hal. 146].
والله
سبحانه وتعالى أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب
Oleh : Mudrikah Daud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar