Cara mendapatkan Ijazah/idzajah dan sanadz atau pertauliahan, haruslah melalui salah satu daripada cara2 tahammul (pembawaan ilmu), Yaitu :
1. Qiro'ah - Syaikh/Guru/pembimbing/Mursyid membaca, dan murid mendengar.
2. Sama' - murid membaca, dan syaikh pula mendengarkan, makhrojul khuruf dan Tajwidnya.
3. Ijazah - Syaikh/Guru/pembimbing/Mursyid membaca, berkata : "Saya ijazahkan kamu"
4. Washiyyah - Syaikh mewasiatkan kepada murid.
5. Kitabah - Syaikh menulis untuk murid.
6. I'lam - syaikh memberitahu kepada murid.
7. Munawalah - syaikh memberi amalan dari tangan ke tangan.
2. Sama' - murid membaca, dan syaikh pula mendengarkan, makhrojul khuruf dan Tajwidnya.
3. Ijazah - Syaikh/Guru/pembimbing/Mursyid membaca, berkata : "Saya ijazahkan kamu"
4. Washiyyah - Syaikh mewasiatkan kepada murid.
5. Kitabah - Syaikh menulis untuk murid.
6. I'lam - syaikh memberitahu kepada murid.
7. Munawalah - syaikh memberi amalan dari tangan ke tangan.
Bagaimanakah cara mendapatkan ijazah/Idzajah atau pentauliahan?
Haruslah dengan salah satu dari cara تحمل (cara menyampaikan) yaitu قراءة (bacaan), سماع (pendengaran), اجازة (Beri), وصية (wasiat), كتابة (Penulisan), اعلام (Beritahu), مناولة (Memberi Kitab) dan وجادة (Wijadah).
Sedikit penerangan tentangnya:
A. Qiro’ah iaitu syaikh membaca dan orang mendengar.
B. Sama’ yaitu murid membaca, syaikh mendengar.
C. Idjazah yaitu syaikh mengatakan : اجزتك (aku mengijazahkan kamu).
C. Washiyat yaitu syaikh mewasiatkan.
E. Kitabah yaitu syaikh menulis.
F. I’lam yaitu syaikh memberitahu.
G. Munawalah yaitu syaikh memberi amalan dari tangan ke tangan.
B. Sama’ yaitu murid membaca, syaikh mendengar.
C. Idjazah yaitu syaikh mengatakan : اجزتك (aku mengijazahkan kamu).
C. Washiyat yaitu syaikh mewasiatkan.
E. Kitabah yaitu syaikh menulis.
F. I’lam yaitu syaikh memberitahu.
G. Munawalah yaitu syaikh memberi amalan dari tangan ke tangan.
Ketahuliah bahwa manusia dalam menuntut ilmu terbagi kepada tiga keadaan
1. Orang yang menuntut ilmu untuk menjadikan ia sebagai bekal ke negeri abadi maka ia tidak berniat dengan mencari ilmu selain hanya mendapatkan ridla Allah dan negeri akhirat. Maka orang itu termasuk dalam golongan orang yang beruntung.
2. Orang yang mencari ilmu untuk mendapat keuntungan yang segera (dunia) dan mendapatkan kemuliaan pangkat dan harta benda, sedangkan ia menyadari hal ini dan merasa dalam hatinya akan kejahatan keadaan yang dialaminya dan kehinaan maksudnya. Orang ini berada dalam golingan yang berbahaya. Jika matinya tidak sempat untuk bertaubat maka ia dalam golongan yang merugikan diri dan matinya dalam su-ul-khotimah (diserahkan pada Allah urusannya samada dimaafkan Allah ataupun disiksa). Namun seandainya ia bertaubat dan memperbaiki amal dan ilmunya maka ia akan bersama golongan yang beruntung.
3. Orang yang dikuasai oleh syaitan maka ia menjadikan ilmu yang dituntutnya itu sebagai alat untuk menghimpunkan harta benda dan bermegah-megahan dengan kedudukan dan merasa bangga dengan ramainya pengikut. Dia menggunakan ilmunya untuk mencapai segala hajatnya untuk meraup keuntungan dunia. Walaupun demikian dia menganggap dia mempunyi kedudukan yang tinggi di sisi Allah kerana dzohirnya ia menyerupai para ulama. Dia bercakap seperti percakapan ulama dan berpakaian seperti pakaian ulama, namun pada hal zahir dan batinnya penuh dengan tamak dan haloba dalam menghimpun kekayaan dunia. Golongan ini termasuk dalam golongan orang yang binasa dan tertipu dengan helah syaitan dan sangat tipis harapanya untuk bertaubat kepada Allah kerana ia telah menyangka berbuat baik.
Maka jadikanlah dirimu bersama golongan pertama dan berhati-hatilah supaya tidak termasuk dalam golongan yang kedua kerana banyak sekali orang yang lalai yang telah diragut kematian sebelum sempat ianya bertaubat dan memperbaiki kesilapan yang ada. dan jangan sama sekali kamu termasuk ke dalam golongan yang ketiga maka engkau akan terjerumus ke jurang kebinasaan yang sukar untuk diperbaiki.
(Al-Imam Al-Ghozali ra, Bidayatul Hidayah)
(Al-Imam Al-Ghozali ra, Bidayatul Hidayah)
Dua hal ini merupakan sisi penting dalam proses belajar. Konon, Imam An-Nawawi pernah dawuh.
الْحِفْظُ قَبْلَ الْفَهْمِ أَنْفَعُ مِنَ الْفَهْمِ قَبْلَ الْحِفْظِ
Menghafal sebelum memaham lebih berguna daripada memaham sebelum menghafal.
Setidaknya, ada dua alasan yang mendasari pendapat ini.
1. Hafalan merupakan batas terjauh kemampuan setiap orang, sedangkan kefahaman terkadang hanya dimiliki beberapa orang saja. Ini karena, sebuah hafalan bisa dicapai dengan usaha pengulangan dengan intensitas tertentu. Seseorang akan bisa hafal, asalkan dia mau banyak mengulang, serta berusaha merekamnya dalam memori ingatan. Sedangkan kefahaman, akan mentok dalam batas tertentu meski diulang-diulang atau dipaksa-paksa. Seakan-akan kefahaman merupakan semacam hidayah atau ilham yang turun "tiba-tiba".
2. Hafalan merupakan inti pengetahuan. Betapapun dalam kefahaman seseorang, tetapi tanpa diikat oleh sebuah hafalan, kefahaman tersebut seakan sia-sia belaka.
Ada sebuah kisah, konon Imam Al-Ghozali saat pulang dari mondok, dengan membawa buntalan pakaian dan sejumlah kitab, dihadang oleh seorang perampok. Beliau dipaksa untuk menyerahkan semua barang, termasuk kitab-kitab selama sang Imam mondok. Dengan berat hati Imam Al-Ghozali memohon si perampok agar tidak mengambil kitab-kitab tersebut, serta mempersilakan mengambil semua harta miliknya.
Ku mohon, jangan ambil kitab-kitabku, karena itu adalah hasil belajarku selama bertahun-tahun.
Pinta Imam Al-Ghozali.
Ha.. ternyata ilmumu hanya sebatas kitab-kitabmu saja. Jika kitab-kitabmu dirampas orang, maka hilang pula ilmumu , jawab si perampok.
Seketika Imam Al-Ghozali menyadari bahwa pengembaraannya mencari ilmu belum sepenuhnya usai, karena ilmu-ilmu yang dia dapat baru sebatas tulisan-tulisan dalam kitab. Beliau menyadari, bahwa yang dikatakan si perampok tadi bukanlah inisiatifnya, melainkan petunjuk dari Allah yang disampaikan melalui perantara orang jalanan itu.
Ku mohon, jangan ambil kitab-kitabku, karena itu adalah hasil belajarku selama bertahun-tahun.
Pinta Imam Al-Ghozali.
Ha.. ternyata ilmumu hanya sebatas kitab-kitabmu saja. Jika kitab-kitabmu dirampas orang, maka hilang pula ilmumu , jawab si perampok.
Seketika Imam Al-Ghozali menyadari bahwa pengembaraannya mencari ilmu belum sepenuhnya usai, karena ilmu-ilmu yang dia dapat baru sebatas tulisan-tulisan dalam kitab. Beliau menyadari, bahwa yang dikatakan si perampok tadi bukanlah inisiatifnya, melainkan petunjuk dari Allah yang disampaikan melalui perantara orang jalanan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar