Sanadz
adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah
ar-Rijâl).
Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada
pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan
ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman
laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam
dipastikan memiliki sanad.
Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan
kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh
pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di
antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha
luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau
syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad.
Adanya berbagai perubahan pada
ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara
satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang
bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama
menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh
Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh
Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak
kemurnian ajaran-ajaran Rasulullahakan terus berlangsung hingga datang hari
kiamat.
Tentang
pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan
tabi’in, berkata: إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ
(رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح) Sesungguhnya ilmu -agama- ini
adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama
kalian. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).
Imam
‘Abdullah ibn al-Mubarakberkata: الإسْنَادُمِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُلَقَالَ
مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ Sanadz adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad
maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap
apapun yang ia inginkan.
Tasawuf
tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambung hingga
Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa
tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah
dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan
sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian
mereka tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena mereka
sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.
Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”.
Bahasa-bahasa dengan penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau
“lambang” dari ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal
tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad.
Selain
“al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah
“ar-Râyah”(bendera),“al-Hizâm”(sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini
sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari
guru ke murid, namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan
semata benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa
dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.
Imam
al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumarimengutip perkataan
al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah,
ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf bukan
merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata.
Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan
tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadahan-Nafs) dan menuntunnya untuk
berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik
secara zhahir maupun secara batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya
pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu
ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].
Namun
demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai
sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah.
Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmahas-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang
dililit di atas kepala) secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat
ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara memakainya, yang hal tersebut
secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa
lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam
kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu
sendiri. Lambang-lambang tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di
kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya
“sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya
memiliki kekhususan tersendiri.
Contoh
lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir.Gerakan-gerakan ini
memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka
yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad. Kemudian para
ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin ilmu
atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam
agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan
yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakkan
kaki-kaki mereka.
Karena
itu Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka
mereka. (Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah). Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani
dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal
tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih empat yang
berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau
merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an
dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab
asy-Syafi’i.
Kemudian
seperti itu pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki,
lalu Imam Abu Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal
dengan madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid
al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau adalah
sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf
tersebut.
Seperti
halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh
para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran
utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh
beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah
al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid
al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambung hingga
kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam ‘Ali ibn
Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah.
Lengkapnya
sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah
kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi,dari Imam Ma’ruf
al-Karkhi,dari Imam Dawud ath-Tha’i,dari Imam Habib al-‘Ajami,dari Imam
al-Hasan al-Bashri,dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah. Lihat mata
rantai berikut:
RosulullahSAW Imam ‘Ali ibn Abi Thalib Imam al-Hasan al-Bashri
Imam Habib al-‘Ajami Imam Dawud ath-Tha’i Imam Ma’ruf al-Karkhi Imam as-Sirri
as-Saqthi Imam al-Junaid al-Baghdadi Ini adalah sanadz tasawwuf yang telah
disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah. Selain
sanadz tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran
mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam
‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim,dari ayahnya
sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir,
dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam
al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib,
Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut: RosulullahSAW Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib Imam al-Husain (Syahid Karbala) Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin Imam Muhammad
al-Baqir Imam Ja’far ash-Shadiq Imam Musa al-Kadlim Imam ‘Ali ar-Ridlo Imam
Ma’ruf al-Karkhi Imam as-Sirri as-Saqthi Imam al-Junaid al-Baghdadi Sanadz yang
kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanadz
ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka.
Sanadz
kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanadz pertama, sekaligus sebagai
bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang
anti tasawwuf biasanya mempermasalahkan sanadz pertama di atas dengan
mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan
al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang
benar tidaknya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn
Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk menanamkan keraguan tentang
kebenaran sanadz tasawwuf.
Namun
tentang sanadz yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka
yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawwuf. Walau demikian,
tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya pertemuan
(al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn
Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah
Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah
an-Nâdlirîn.
Setelah
membahas panjang lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri
mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata:
“al-Hasan al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil
pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat
terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di
tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur
empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali
ibn Abi Thalib. Oleh Thoriqoh Syadziliyah
Sanadz
Adalah Mata Rantai Bagian 2 (Dua) Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan
adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
adalah penjelasanal-Hâfizh Jalaluddinas-Suyuthi yang beliau tuliskan dalam
risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu
riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan
hingga memiliki gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada
alasan untuk mengingkari atau menolaknya. Dalam risalah tersebut Imam
as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat kuat, dengan melihat setidaknya
kepada tiga perkara, sebagai berikut: Pertama; Kaedah yang telah disepakati di
kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa pendapat yang menetapkan adanya
suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang menafikannya
(al-Mutsbit Muqaddam ‘Ala an-Nafî).
Ini
karena seorang al-Mutsbitmemiliki keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di
banding seorang an-Nafî. Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan
al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab.
Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah.
Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke hadapan para
sahabat terkemuka untuk memintakandoa keberkahanbaginya.
Termasuk
salah satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat
mendoakannya berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan
jadikanlah ia seorang yang dicintai manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan
oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-Kamâl. Kemudian al-‘Askaridalam
kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di atas menyebutkan
bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah
berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah
‘Utsman tersebut.
Dan
sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan
shalat hingga umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkumpul dan
bertemu dengan para sahabat senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan
shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib masih
berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya.
Dan
beliau baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini
artinya kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn
Abi Thalib sudah merupakan kepastian.Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi
Thalib seringkaliberziarah kepada istri-istri Rasulullah, termasuk salah
satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah; ibunda
al-Hasan al-Bashri,dan -tentunya-al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan
adanya pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi
diragukan.
Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan
al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.
Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanadnya yang
bersambungkepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata kepada
al-Hasan al-Bashri:“Wahai Abu Sa’id, seringkaliengkau berkata “Rasulullah
bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”.
Al-Hasan
al-Bashri menjawab: “Wahai putra saudaraku,engkau telah bertanya kepadaku suatu
pertanyaanyang tidak pernah ditanyakanorang-orang sebelummu.Kalau bukan karena
kedudukanmu bagiku aku tidak akan memberitahukan jawabannyakepadamu.
Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau lihat sendiri, (masa
penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari kalangan
Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar
dariku “Rasulullah bersabda…”maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi
Thalib”[3].
Al-Hafizh
as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh
riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam
karya-karya mereka dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi
Thalib.
Di
antaranya riwayat yang ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata:
“Menghkabarkan kepada kami Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan
al-Bashri,dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullahbersabda: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلاَثَةٍ عَنِ الصّغِيْرِحَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ
الْمُصَابِحَتّى يُكْشَفَ عَنْهُ Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari
seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang yang tidur hingga ia bangun
dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari musibahnya tersebut.
Hadits
ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah
menilainyaberkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i,oleh Imam
al-Hakim yang menilainyashahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisidalam
kitab al-Mukhtârah.
Kemudian
dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi
dalam menjelaskan hadits di atas berkata mengutip pernyataanImam ‘Ali al-Madini
bahwa al-Hasan al-Bashri bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih
berada di Madinah.
Sementara
Abu Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai
khalifah, al-Hasan al-Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain
itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri berkata: “Saya melihat al-Zubair
membai’at ‘Ali”[4].
Di
antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf
al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali
ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:
1.
Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut;
Mengkhabarkan kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada
kami Syadz ibn Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan
al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullahbersabda: أفْطَرَ الْحَاجِمُوَالْمَحْجُوْمُ
(روَاهُ النّسَائيّ) Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam.
(HR. an-Nasa’i).
2.
Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya tentang zakat fitrah dengan
sanad berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami
Yazid ibn Harun berkata; Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawildari
al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali ibn ‘Abi Thalib: إنْ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْكُمْفَاجْعَلُوْهُ
صَاعًا مِنْ بُرٍّ وَغَيْرِهِ(رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ) Jika Allah meluaskan
rizki kalian maka jadikanlahzakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan lainnya.
(HR. ad-Daraquthni).
3.
Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan
kepada kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl
Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan
kepada kami Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn
‘Imran berkata; Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan
al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa ia berkata: كَفَّنْتُ النَّبِيَّفِي قَمِيْصٍ
أبْيَض وَثَوْبَي حَبْرَة (رَواهُ الْخَطيْبُالْبَغْدَادِيّ) Aku telah menkafani
Rasulullahdengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar. (HR. al-Khatib
al-Baghdadi).
4. Abu
Ya’la dalam Musnad-nyaberkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyahibn Asyras
berkata; Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili
berkata; Aku mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar
Rasulullahbersabda: مَثَلُ أُمّتِيْ مَثَلُ الْمَطَر (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى)
Perumpamaan umatku seperti hujan. (HR. Abu Ya’la). As-Sayyid As’ad (w 1016 H),
seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang sanad ajaran kaum sufi
dan sanad khirqah mereka.
Kesimpulan
tulisan beliau adalah bahwa sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts
mengingkari pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib,
namun pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang
tersebut.
Pendapat
ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang telah menetapkan
keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan
keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam
‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu
hadits[5].
Masih
menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqahmemiliki dasar yang berasal dari
Rasulullahsendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil
pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika
Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan
merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah berkata: “Siapakah menurut
kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?”.Semua sahabat terdiam
sambil berharap untuk mendapatkan baju tersebut.
Kemudian
Rasulullah berkata: “Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang
Rasulullah lalu memakaikanbaju tersebut kepadanya seraya berkata:
“Pakailah,semoga banyak memberikan manfa’at bagimu”.
Setelah
Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat kepada
pernik-pernik warna kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata:
“Wahai Ummu Khalid ini adalah pakaian yang indah”[6]. Termasuk yang dapat
dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqahini adalah riwayat yang
telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan
sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab memakaikanal-Khirqahkepada Uwais al-Qarani.
Simak
perkataan Imam asy-Sya’rani berikut ini: Uwais al-Qarani telah memakai pakaian
(ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan memakai selendang
(ar-ridâ’)dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua
bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits.
Para
pengemban riwayat sanad al-khirqahini adalah para Imam yang agung dari umat
ini. Adapun beberapa huffâzh al-hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka
yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada jubah (al-jubbah) dan peci
(ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum
sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda
tersebut saja.
Seperti
khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari
kebenaran sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau
surban dililitkan pada kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’),
bahwa Sanad al-’Imâmahas-sauda’ ini telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu
ketika Rasulullah memakai kanal-’Imâmahas-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab sahih, lalu
Rasulullahberkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah
seperti ini”.
Kemudian
tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat
jalur al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan seterusnya-hingga ‘Ali ibn Abi
Thalib-. Di samping itu jalur sanad tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana
telah disebutkan--”[7]. Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang
berupa al-’Imâmahas-saudâ’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah,
seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam ath-Thabarani dan lainnya.
Di
antaranya sebuah hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau berkata:
“Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan‘Imâmah hitam kepadaku dengan
mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ
أمَدَّنِيْيَوْمَ بَدْرٍ وَحُنَيْنِبِمَلاَئِكَةٍ يَعْتَمُّوْنَ هذِهِ العِمَامَةَ،
وَقَالَ: إنّ العِمَامَةَ حَاجِزٌ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإيْمَانِ (رَوَاهُ الحَافِظُ
أبُو مُوْسَى الْمَدَنِيّ فِي كِتَابِ السّنَّة فِي سَدْلِ العِمَامَةِ وَغَيْرُهُ)
“Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan
perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan‘Imâmah
semacam ini”. (Kemudian juga Rasulullahbersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah
pembatas antara kekufuran dan keimanan”.(HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab
as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmahdan oleh lainnya). والله أعلم بالصواب Wa
Shollallohu ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa 'Alaihi Wa Alihi shohbihi Sallam.
DAFTAR PUSTAKA Ashbahâni,al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah
al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut Asqalâni, al, Ahmad Ibn
Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasahal-‘Alami Li
al-Mathbu’at, 1986 M. Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ
al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li
Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dâr al-Fikr,
Bairut. Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ
al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn
Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman,al-Maqâlâtal-Sunniyah Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn
Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M. Ibn Arabi, Muhyiddin
Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhâtal-Makkiyyah, ta’lîq Mahmûd
Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut Nasab
al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo Mesir
Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-Dzahab Fî
Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi,Bairut, Dâr al-Âfâq
al-Jadidah, t. th. Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih
al-Jailâni, al-Gunyah,Dâr al-Fikr, Bairut Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim
ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf Li Madzhab Ahl
al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi,cet. 1, 1388-1969,Maktabah
al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi,Cairo Khalîfah,
Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf
al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut. Nabhâni, al,
Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut Qusyairi, al, Abu
al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlahal-Qusyairiyyah, tahqîq
Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji,Dâr al-Khair. Rifâ’i, al, Abu
al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân
al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004,Dâr al-Masyârî’, Bairut. Sarrâj, al, Abu Nashr,
Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah
al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb,al-Thabaqât
al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-Ahdlar,Cairo Mesir. Al-YawâqîtWa
al-JawâhirFi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir,t. th, Mathba’ah al-Haramain. Al-Kibrît
al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
Al-Anwar al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhûtal-Makkiyyah, Bairut, Dar
al-Fikr, t. th. Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq,‘Alam al-Fikr, Cairo Suhrâwardi,
al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman
Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah, tahqîq Musthafâ ‘Abd
al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003,Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Bairut. Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr,
al-Hâwî Li al-Fatâwî,cet. 1, 1412-1992,Dâr al-Jail, Bairut. Tim
PengkajianKeislaman Pada Jam’iyyah al-Masyarial-Khairiyyah al-Islamiyyah,
al-Jauhar al-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut,
Dâr al-Masyârî’, 1423 H, 2002 M. Al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf,
Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M Oleh: Thoriqoh Syadziliyah